Jumlah
toko mainan anak yang membidik kelas menengah dan dikelola secara
modern masih terbatas. Biasanya, di mal-mal justru banyak toko mainan
impor yang harganya mahal, sedangkan pasar atau toko tradisional menjual
produk mainan anak dengan pengelolaan ala kadarnya. Peluang inilah yang
diendus Wan Muhammad Hasyim, Presdir Toysmart, untuk menghadirkan rumah
mainan Toysmart.
Meski
demikian, masuknya Wan di bisnis mainan anak tergolong telat.
Maklumlah, awalnya ia belum yakin bahwa berdagang mainan akan
menghasilkan omset yang signifikan. Lihatlah, sejarah berdirinya
Toysmart, sebagaimana diakui Wan, bermula dari sebuah toko alat tulis
dan fotokopi tahun 1996. Lalu, atas permintaan pelanggan — yang minta
disediakan barang-barang yang dapat dijadikan kado ulang tahun
di tahun 2000 Wan membuka toko kedua seluas 3 X 6 m2 di kawasan
Jababeka, Cikarang Baru. Ananda, nama toko itu, khusus menjual mainan
anak dan boneka. Tak dinyana, dalam beberapa bulan beroperasi, respons
konsumen luar biasa. “Saya baru sadar ternyata omset bisnis mainan
anak lebih bagus dari alat tulis, ujar Wan. Sejak itulah,
tekadnya bulat: menjadi wirausaha. Ia pun mengundurkan diri sebagai
karyawan dari sebuah perusahaan patungan Taiwan-Indonesia.
Setelah
tiga tahun Toko Ananda beroperasi, Wan mulai berpikir mengembangkan
bisnisnya agar lebih modern. Kebetulan, kala itu orang-orang sedang
dilanda demam bisnis waralaba (franchise).
Ia tergiur mewaralabakan bisnisnya. Nama tokonya pun diganti supaya
lebih keren dan punya nilai jual. Tahun 2003 ia mengibarkan bendera
Toysmart untuk mengembangkan konsep rumah mainan modern yang
dikelolanya. Lagi-lagi, Wan seperti mendapat durian runtuh. Sama seperti
Toko Ananda yang di awal kehadirannya saja diminati pembeli, waralaba
Toysmart pun diburu investor. Tidak percaya?“Dalam tempo dua
tahun berjalan saja, jaringan outlet Toysmart berkembang pesat di seluruh Pulau Jawa menjadi 30 toko, ujar pria kelahiran Riau, 3 Juli 1969, itu.
Menariknya, dari sejumlah terwaralaba (franchisee) Toysmart, ada salah seorang yang tertarik menjadi pemegang saham di manajemen Toysmart. Namanya, Herry Harunrasyid, seorang engineer yang
pernah bekerja di PT Jaya Konstruksi dan PT Conblock Indonesia.
Sebelumnya, Herry membuka dua gerai waralaba Toysmart tahun 2005 di
Bekasi (Perumahan Galaxy) dan Depok dengan nilai investasi Rp 110
juta/toko. Gayung bersambut. Wan tidak menolak keinginan Herry bergabung
membesarkan Toysmart. Sejak itulah, seperti Wan, Herry juga total
menjadi wirausaha dan menanggalkan status sebagai profesional di tempat
ia meniti karier. Alhasil, Wan tidak single fighter lagi di tubuh manajemen Toysmart.
Sejatinya,
pertemuan Wan-Herry untuk bermitra mengembangkan Toysmart tanpa ada
kesengajaan. “Awal ketertarikan saya masuk ke Toysmart ketika saya
mengikuti kuliah di Entrepreneur University milik Purdi Chandra. Di
sana Wan menjadi mentor, kata Herry. Sarjana teknik sipil dari
Universitas Indonesia ini waktu itu mendapat banyak sekali tawaran
bisnis waralaba di luar Toysmart. “Saya sempat tertarik dengan franchise makanan
atau musik, ujarnya. Namun setelah dipikir, membuka toko mainan
tidak memerlukan sumber daya manusia sebanyak gerai waralaba makanan.
Cukup tiga SDM untuk menjaga toko secara bergantian.
Dengan
masuknya Herry sebagai pemegang saham, otomatis mereka berbagi peran:
Wan tetap menjadi Dirut, sedangkan Herry sebagai Direktur Operasional.
Berapa komposisi sahamnya? “Wah, rahasia deh,
yang jelas lumayan, tutur Herry saat disinggung soal nilai
investasi yang dibenamkannya. Dalam perkembangannya, duet Wan-Herry
mampu membawa kemajuan Toysmart yang berarti. Salah satu buktinya, gerai
Toysmart berkembang dari 30 menjadi 40 toko. Bahkan, sebelum Idul Fitri
2006 Toysmart bakal membuka empat toko lagi, antara lain di Atrium
Senen, Jakarta. Herry pun membuka wawasan Wan, agar gerai Toysmart tidak
cuma berkutat di kawasan ruko sebagaimana yang dikembangkan selama ini. “Setelah ada Herry, toko Toysmart juga merambah kawasan mal kelas
menengah, kata Wan.
Wan
tergolong selektif dalam memilih calon terwaralaba Toysmart. Ini
dimaksudkan agar pengelolaan toko bisa standar di semua cabang. Walau
begitu, ia membenarkan dari total 40 gerai Toysmart sekitar 70% dimiliki
jaringan waralaba. Adapun besarnya investasi yang harus disediakan
calon investor Toysmart minimal Rp 140 juta. Biaya itu sudah termasuk franchisee fee
Rp 25 juta, kelengkapan produk mainan, rak dan sewa tempat. Tentu saja,
dengan letak dan luas lokasi yang berbeda, kebutuhan nilai investasinya
pun berlainan.
Herry
yakin, dalam tempo dua tahun investasi waralaba Toysmart sudah balik.
Ini mengacu pada pengalaman mayoritas terwaralaba Toysmart yang telah
berjalan: rata-rata membutuhkan waktu 24 bulan untuk meraih return on investment.
Target itu bisa tercapai dengan asumsi omset bersih paling tidak Rp 30
jutaan/bulan dengan laba bersih 16%. Asyiknya, jika ada jenis mainan
tertentu yang sedang musim, omset akan terkatrol. Ia mencontohkan,
beberapa waktu lalu terjadi booming mainan mobil remote control
dan tamiya, maka omset tiap gerai langsung melejit di kisaran Rp 50-70
juta/bulan. Sementara itu, harga mainan dan boneka yang ditawarkan
Toysmart bervariasi, dari Rp 20 ribu sampai Rp 400 ribu.
Selain
itu, Herry mengklaim, Toysmart memiliki banyak keunggulan, di antaranya
pengaturan toko yang rapi, bersih, banyak pilihan produk dan harganya
jelas. Sejauh ini, produk mainan Toysmart disuplai dari Cina (80%) dan
sisanya pabrik mainan lokal. Dibandingkan dengan waralaba food & beverage atau minimarket, Toysmart diakui Herry lebih unggul. Pasalnya, produk-produk yang ditawarkannya tidak akan pernah kedaluwarsa.
Guna
menarik konsumen lebih banyak, Toysmart rajin menggelar promosi.
Setidaknya 2-3 bulan sekali dilakukan promosi, misalnya memberikan
hadiah langsung seperti mug, diskon khusus, hingga hadiah ponsel dan iming-iming lain. Tiap promosi diatur dan dikelola manajemen pewaralaba (franchisor). Dengan demikian, ada biaya promosi yang dibebankan pada terwaralaba, sebesar Rp 500 ribu-1 juta atau 1% dari nilai omset yang dibukukan investor.
Secara
manajemen, Wan-Herry selalu memperbaiki sistem dan pengelolaan hingga
SDM-nya. “Kami juga selalu mengikuti perkembangan pasar toys,
dengan menghadirkan produk-produk terbaru hasil kerja sama dengan
importir pilihan, Herry menjelaskan. Dan, untuk memperkuat merek,
Wan rajin mendukung seminar tentang waralaba.
Baik
Wan maupun Herry optimistis, bisnis Toysmart masih mampu melaju
kencang. Keyakinan ini didasarkan pada melesatnya pertumbuhan bisnis
Toysmart dan tingkat persaingan yang belum terlalu tajam. Menurut Wan,
persaingan toko mainan yang ada terjadi di “kelas
tradisional. Di sisi lain, jumlah toko mainan kelas premium
lokasinya terbatas di mal bergengsi. Itu artinya, pasar segmen menengah
belum ada yang digarap dengan jaringan kuat dan serius. Itulah sebabnya,
dengan kekuatan Toysmart dalam manajemen, promosi atau pelatihan
karyawan, pihaknya yakin bakal menaklukkan pasar.
Herry
berusaha memperkuat pandangan Wan dengan menunjukkan besarnya potensi
pasar mainan anak. “Kalau bisnis resto, persaingannya cukup ketat.
Sementara, bisnis mainan di level menengah belum begitu sengit
kompetisinya dan potensinya besar, Herry menimpali. Dikatakannya,
pertumbuhan industri ini mengikuti tingkat pertumbuhan penduduk, karena
anak-anak selalu membutuhkan mainan. Bahkan, mainan koleksi jenis mobil
remote dan tamiya digemari
hingga anak SMP. Jadi, tidak mustahil, ke depan Toysmart bakal
berekspansi ke luar Jawa. “Rencana memang ada, kami masih
pelajari. Tapi, mungkin belum tahun ini pembukaannya.
Pengamat
bisnis Sukono Soebekti mengakui, dari segi bisnis, keunikan usaha
mainan anak merupakan pendorong keberhasilan Toysmart. Tidak
banyak perusahaan yang memilih usaha mainan anak, padahal jumlah anak
yang memerlukan mainan senantiasa bertambah,ujarnya. Namun,
kunci keberhasilan wirausaha ini tentunya didasari kerja keras,
kedisiplinan dan keuletan.
Di
mata Sukono, duet Wan-Herry merupakan kombinasi unik. Kedua pemilik
Toysmart itu dulunya dikenal sebagai karyawan, kemudian sama-sama pindah
kuadran menjadi wirausaha. “Ini sekaligus membuktikan (lagi)
bahwa eks pegawai dapat menjadi pengusaha sukses. Saya sering
mencontohkan kisah Pak Haryono (pemilik griya pijat Bersih Sehat — Red.)
yang meninggalkan posisi sebagai pegawai Pemda DKI, kemudian berhasil
merintis usaha gerai pijat hingga punya cabang di Singapura, kata
Senior Faculty Member PPM Graduate School of Managament ini.
ChairmanThe
Indonesian Institute for Corporate Directorship itu menilai kombinasi
antara akuntan (Wan) dan ahli teknik sipil (Herry) merupakan kombinasi
yang ideal. Alasannya, Wan dapat menghitung dan mengelola keuangan
dengan cermat, sedangkan Herry menguasai bidang produksi/operasi
perusahaan. Lagi pula, keduanya mempunyai kelebihan: terbiasa bekerja
dalam sebuah sistem (di organisasi tempat mereka berkarya sebelumnya).
Untuk manajerial waralaba, Sukono menyarankan agar perusahaan dikelola dengan spirit win-win
antara pewaralaba dan terwaralaba. Menurutnya, semua aturan, hak dan
kewajiban, baik di dalam organisasi maupun sistem waralaba mestinya
dirancang dan dijalankan dengan baik. “Tidak terlambat dalam
menyiapkan diri sebagai organisasi besar,ujarnya. Sebab,
organisasi yang sedang tumbuh pesat umumnya sering terlambat menyiapkan
sistem manajemen dan SDM yang andal. Padahal, keterlambatan persiapan
ini bisa mengakibatkan lunturnya kepercayaan para stakeholder yang dapat merugikan Toysmart.
Kadir,
salah seorang terwaralaba Toysmart, mengaku bahwa manajerial waralaba
yang dipilihnya cukup bagus. “Saya tertarik membeli waralaba
Toysmart karena dikelola dengan manajemen yang modern dan baik,
tutur Kadir yang membuka toko pertamanya 6 bulan lalu. Ia sudah puas
dengan kinerja waralaba Toysmart, sehingga ingin menambah satu toko
lagi. Kadir mengenal seluk-beluk Toysmart ketika mengikuti seminar
tentang kewirausahaan yang menghadirkan Wan sebagai pembicara. “Waktu itu sebetulnya saya mendapat penawaran franchise
Bakmi Tebet. Tapi karena manajemen Toysmart tidak terlalu rumit, orang
yang dibutuhkan tidak banyak dan investasinya juga cukup terjangkau,
jadi saya mau bergabung.
Menurut
Kadir, yang membuka gerai Toysmart di Ruko Greenfil, Jakarta Barat,
dengan luas 60 m2, investasi yang dibenamkannya sekitar Rp 180 juta. “Omsetnya sesuai dengan yang dijanjikan, Rp 25-30
juta/bulan, kata pria 48 tahun yang pensiun dini sebagai pegawai
negeri sipil itu. Ia menyarankan agar manajemen Toysmart lebih gencar berpromosi dan memberikan pelatihan pada karyawan supaya bisa menggenjot omset.
0 comments:
Post a Comment