Ditulis Oleh: Ismantoro Dwi Yuwono
--Yogyakarta Rabu, 15 Januari 2014--
--Yogyakarta Rabu, 15 Januari 2014--
Saya hanya percaya pada diri saya sendiri. Dan dengan
berjalannya waktu, saya tahu bahwa saya hanya bisa bergantung pada diri saya
sendiri. Saya ditahan oleh Orde Baru selama 34 tahun di penjara dan kamp
konsentrasi, dan Tuhan tidak pernah menolong saya. Orang-orang datang kepada
Tuhan untuk mengemis. Menurut saya berdoa itu sama dengan mengemis (Pramoedya
Ananta Toer dalam Andre Vltchek dan Rossie Indira, 16:2006)
Pramoedya Ananta
Toer
Sumber Gambar: Yayasan Lontar, “Mendengar si Bisu Bernyanyi,” Seri Video
Dokumenter
Berselang dua tahun
lebih muda dari umur D.N. Aidit adalah Pramoedya Ananta Toer, seorang tokoh
sastrawan yang terkenal di Indonesia dan dunia internasional yang kisah
hidupnya cukup menginspirasi, yang akan penulis ulas dalam kesempatan ini.n Pramoedya lahir pada
6 Februari 1925 di Blora, sebuah
Kota kecil di bagian utara Jawa Tengah, Pramoedya Ananta Toer semenjak
masa kecilnya sampai menjelang masa tuanya selalu hidup dalam tekanan. Namun,
justru karena tekanan-tekanan dari hidupnya itu Pramoedya Ananta Toer, melalui
novel-novel yang ditulisnya, menjadi seorang sastrawan yang dikenal luas dan
dikagumi banyak orang. Bagaimana kisah perjalanan hidupnya, berikut ini pembaca
akan penulis ajak mengikuti kisah perjalanan hidup Pramoedya Ananta Toer.
Rasa Rendah Diri Yang Berasal dari Dalam Keluarga
Pramoedya Ananta Toer
(selanjutnya disebut Pram) dilahirkan pada usia kandungan Ibunya, Saidah, baru
berusia 8 (delapan) bulan. Jadi, pada saat itu, Pram lahir secara prematur.
Kondisi kelahiran Pram secara prematur inilah yang menyebabkan Pram menjadi
seorang anak yang lemah. Tidak hanya lemah secara fisik, dalam pandangan Ayahnya,
Mastoer Imam Badjoeri
(selanjutnya disebut Mastoer), Pram dianggap anak yang lemah secara intelektual. Anggapan
dari Ayahnya ini di dukung oleh kenyataan bahwa Pram ketika sedang menempuh
pendidikannya di Sekolah Tingkat Dasar Budi Utomo, dimana di sekolahan tersebut
Ayahnya perposisi sebagai Kepala Sekolah, Pram sempat tidak naik kelas sebanyak
tiga kali berturut-turut.
Mastoer selain berposisi
sebagai seorang kepala sekolah di Sekolah Dasar Budi Utomo, dia juga sebenarnya
merupakan pendiri Sekolah Dasar Budi Utomo di Blora. Mastoer sebelum menjadi
kepala sekolah dan tenaga pengajar di Sekolah Dasar Budi Utomo, dia pernah
menjadi tenaga pengajar (guru) di Holands
Indische School Rembang, dan baru setelah menikah dengan Saidah, dia
menjadi kepala sekolah dan guru di Sekolah Dasar Budi Utomo, Blora.
Mastoer yang
menginginkan anak-anaknya selalu menjadi seorang bintang kelas, mendapatkan
kenyataan Pram tidak naik kelas sampai tiga kali sangat marah besar (kemarahannya ini, mungkin, juga karena
dipicu gengsi Mastoer sebagai seorang Kepala Sekolah, guru, dan sekaligus
Pendiri Budi Utomo).
Karena ketidak naikan kelas Pram sebanyak tiga kali tersebutlah, kemudian Pram
dikeluarkan (drop out) dari sekolahnya. Selama satu tahun Pram harus tinggal di
rumah, tidak bersekolah di
Budi Utomo, dan
selama setahun itulah Pram dididik sendiri
secara privat oleh Ayahnya sendiri. Dalam memberikan pelajaran kepada Pram Ayahnya
selalu mengajari Pram dengan
cara menunjukkan hal-hal
konkret yang kemudian dikaitkan dengan pelajaran yang
diajarkan oleh Ayahnya. Ayahnya mengajari Pram tentang langit, bumi, pepohonan,
binatang, pepohonan,
kisah-kisah lama, kehidupan rakyat jelata, bahkan persoalan nasionalisme dan
kerakusan Belanda. Sekali-kali dia diajak mendengarkan gamelan, dan Ayahnya
menerangkan kepadanya di mana dan bagaimana mutu keindahan seni suara Jawa dari
gemelan itu (lihat: Koh Young Hun, Prof., 4:2011) dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pelajaran yang
diajarkan oleh Ayahnya kepada Pram. Ayah Pram, Mastoer, dalam mem-privat
anaknya tersebut sering sekali marah-marah dan membentak-bentak Pram, dan jika
hal ini telah terjadi sesi pelajaran pasti berakhir dengan tangisan Pram.
Setelah selama 1
(satu) tahun Pram di berikan pelajaran privat oleh Ayahnya, Pram pun kemudian
dimasukan lagi ke Sekolah Dasar Budi Utomo yang dulu pernah ditinggalkannya.
Dan akhirnya pelajaran-pelajaran yang diterima oleh Pram bisa langsung di akses
oleh Pram dengan mudah. Pram pun dinyatakan lulus dari bangku sekolah tersebut.
Karena Pram merasa berhak melanjutkan jenjang ke pendidikannya lebih tinggi,
karena sudah lulus dari Sekolah Dasar Budi Utomo yang dia tempuhnya selama 10
(sepuluh tahun) yang
seharusnya, secara normal, harus ditempuhnya selama 7 (tujuh) tahun itu, maka Pram pun memohon kepada
Ayahnya agar Pram dapat melanjutkan jenjang pendidikannya tersebut, seperti halnya anak-anak lain yang telah
lulus dari Sekolah Dasar yang kemudian
melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Namun apa respon dari Ayahnya mendengarkan permintaan
dari anak sulungnya tersebut? Pram langsung mendapatkan semprotan (bentakan) dari Ayahnya, “Anak Bodoh!! Kembali kamu ke Sekolah Dasar!”
Dengan rasa rendah
diri, karena dianggap anak bodoh oleh Ayahnya, Pram pun kembali ke Sekolah
Dasar Budi Utomo, sekolahan yang telah dia tamatkan selama 10 (sepuluh) tahun dan dia pun sudah dinyatakan
lulus. Pada saat Pram tiba disekolahan, Pram, secara khusus, dihampiri oleh
gurunya, Meneer Amir. Meneer Amir berkata kepada Pram, “Pram, mengapa kamu
masih di sini? Bukankah engkau sudah lulus?! Tempatmu bukan di sini lagi,
Pram.” Demi mendengar apa yang dikatakan oleh Meneer Amir, “bekas” gurunya,
tersebut Pram pun tidak bicara apa-apa. Pram langsung mengambil semua
kertas-kertas miliknya pada saat itu, dan kemudian berlari pulang sambil
berlinang air mata. Jalan setapak ke arah rumah Pram melewati sebuah kuburan
umum, dan dikuburan inilah, sebelum Pram pulang ke rumah, Pram singgah di
kuburan, meletakkan kertas-kertasnya di atas sebuah batu nisan salah satu kuburan, kemudian Pram mencengkram sebuah
batang pohon jarak yang ada didekatnya, dan Pram pun menjerit sejadi-jadinya. Pram pada saat itu merasa sendirian dalam
rasa sesak yang menekan ulu hatinya, terpukul dan merasa dipermalukan. Pram pun
merasa pada saat itu tidak ada satu pun tangan yang diulurkan kepadanya untuk
sekedar menghibur atau menolong dirinya.
Bergaul dengan Anak-Anak Buruh Tani dan Dimulainya Tindakan Kreatif (Menulis)
Rasa rendah diri yang
disebabkan oleh sikap dan prilaku Ayahnya tersebut berakibat Pram tidak berani
bergaul (minder atau merasa inferior/rendah diri) dengan anak-anak yang status
sosialnya lebih tinggi dari keluarganya, atau paling tidak sejajar. Karena
tidak percaya diri bergaul dengan anak-anak dari golongon tersebut, maka Pram bergaul dengan anak-anak dari orang tuanya yang berstatus sebagai buruh tani. Ketika Pram bergaul dengan
anak-anak buruh tani Pram merasa nyaman dan sejajar dengan mereka.
Selain minder dalam
bergaul, lebih jauh lagi Pram, pada saat itu, juga minder apabila harus
mengungkapkan pendapatkan kepada orang-orang dilingkungan sekitarnya apabila
ada sesuatu yang seharusnya ditanggapi secara argumentatif oleh Pram.
Keminderan Pram untuk mengungkapkan pendapatnya, perasaannya, dan curahan isi hatinya tersebut, kemudian menyeret Pram
untuk menulis. Pram menuliskan apa saja pendapatnya pada suatu peritiwa dan Pram juga menuliskan apa-apa saja
yang dipikirkannya dan
dirasakannya. Inilah
tidakan kreatif Pram dalam mengalihkan
(sublimasi/katarsis) rasa mindernya, tindakan
kreatif yang sesungguhnya merupakan embrio dari lahirnya yang membawa seorang Pram sebagai
sastrawan yang berhasil dan terkenal di dalam maupun di luar negeri. Jadi,
semenjak usia Sekolah Dasar Pram sudah menjadi seorang penulis.
Selamat
Jalan Ibunda, Saidah
Atas perintah Ayahnya, Mastoer,
kembalilah Pram ke Sekolah Dasar Budi Utomo dan menyelesaikan pendidikannya di
lembaga pendidikan yang didirikan oleh Ayahnya sendiri itu. Namun ada sepenggal
kisah yang menyedihkan sepanjang Pram menyelesaikan pendidikannya di Sekolah
Dasar tersebut, dan beberapa waktu setelah Pram menyelesaikan pendidikannya
tersebut. Namun sebelum tiba pada kisah yang menyedihkan tersebut ada baiknya
untuk mengulas aktivitas Mastoer selain sebagai Kepala Sekolah di Sekolah Dasar
Budi Utomo, sebagai berikut.
Selain sebagai Kepala Sekolah
dan tenaga pengajar, sebenarnya Mastoer adalah seorang tokoh pergerakan yang
bernaung di bawah organisasi PNI (Partai Nasional Indonesia). Ideologi yang
dianut oleh seorang Mastoer adalah Nasionalis Kiri yang tidak berkopromi
terhadap penjajahan, baik penjajahan Belanda maupun Jepang. Karena
ketidakkopromiannya terhadap penjajah inilah kemudian hal itu berdampak kepada
kondisi keuangan Mastoer yang memburuk. Selain itu PNI, pada penjajahan
Belanda, adalah sebuah Partai yang selalu mendapatkan tekanan dari Belanda.
Berangkat dari dua keadaan tersebut Mastoer seriang kali tertekan. Ketertekanan
inilah yang menurut Pram seringkali dilampiaskan oleh Mastoer kepada keluarganya
dengan cara marah-marah tanpa sebab musabab dan, selain itu juga, dengan cara
menenggelamkan diri pada judi. Sering terjadi pertengkaran hebat antara Mastoer
dengan Saidah, jika hal ini terjadi Pram selalu membela dan memihak Ibunya.
Saidah, Ibunda Pram, adalah sosok perempuan yang sangat dihormati dan disegani
oleh Pram.
Untuk mencukupi kebutuhan
keuangan keluarga, Saidah pun harus berjualan makanan dan beras. Saidah selalu
mengajarkan kepada anak-anaknya, terutama kepada Pram, sebagai berikut, “jadilah
manusia bebas, dan jadilah majikan bagi dirimu sendiri tetapi jangan melanggar
hak orang lain. Jangan sekali-kali meminta-minta kepada orang lain!” Apa yang
diajarkan oleh Ibu-nya tersebut selalu dicamkan oleh Pram dan, menurut Pram,
selalu terpancar dalam novel-novel yang ditulisnya.
Setelah lulus dari Sekolah
Dasar Budi Utomo—kelulusan untuk ke dua kalinya—dari hasil usaha mengumpulkan
uang bersama Ibundanya, Pram pun pada 1940 melanjutkan sekolahnya ke jenjang
yang lebih tinggi, yakni di Radio Vakschool, Surabaya. Pada masa-masa Pram
bersekolah di Sekolah Dasar, sebenarnya dia senang mempelajari tentang ilmu
kelistrikan, oleh karena itulah, mengapa Pram memilih untuk melanjutkan
bersekolah di Radio Vakschool.
Pada tahun 1941, akhirnya Pram
menamatkan (lulus) dari lembaga pendidikan tersebut. Namun, Pram tidak menerima
ijazah, karena ijazah yang akan diterima oleh Pram harus dikirimkan ke Bandung
untuk di sahkan, tetapi kemudian tidak dikembalikan. Pada saat itu Jepang telah
mengalahkan Belanda dan mulai datang ke Indonesia untuk mengusir Belanda. Untuk
menghindari agar Pram tidak direkrut menjadi tenaga kerja Jepang sebagai
militer kolonial, Pram pun kembali ke kampung halamannya, Blora, padahal pada
saat itu Pram sudah terdaftar untuk ditempatkan pada Angkatan Udara Kolonial
Jepang sebagai calon radio telegrafis. Di Blora, Pram kembali lagi membantu
Ibundanya berjualan.
Pada suatu hari, Saidah jatuh
sakit. Sakit yang diderita oleh Saidah pada waktu itu sangat parah. Sementara
itu Mastoer tidak pernah pulang-pulang. Karena Ibundanya jatuh sakit, maka
tugas untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga jatuh ke pundak Pram, sebagai
anak tertua. Dia harus mengurusi Ibundanya yang sakit dan ke 8 (delapan)
adik-adiknya. Untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluargannya inilah kemudian
Pram harus bekerja dengan cara berjualan rokok dan tembakau. Dia harus
bolak-balik sejauh 30 (tiga puluh) kilometer jauhnya dari Blora ke Cepu untuk
berjualan rokok dan tembakau dengan menaiki sepeda. Pram bersepeda ke Cepu
untuk mencari rokok dan tembakau untuk di jual di Blora. Selain rokok dan
tembakau, Pram juga menjual kain tenun. Sesudah pulang ke rumah, Pram menjaga
dan merawat ibunya yang sakit parah itu (Koh Young Hun, Prof., 8:2011).
Pada bulan Mei 1942, Ibunda
Saidah yang sangat disayangi oleh Pram itu pun meninggal dunia, setelah
beberapa waktu mengalami sakit yang sangat parah. Pada waktu itu umur Pram 17
tahun. Ketika Ibunnya meninggal dunia tidak ada satu pun orang yang mendekat
dan menolong. Pram bersama dengan adik-adiknya harus mengurus sendiri,
mengantarkan sendiri ke pemakaman, dan menguburkan sendiri jenazah ibunya
tersebut. Padahal, menurut Pram, Ibunya itu banyak membantu orang, tetapi dalam
keadaan seperti itu tidak ada satu orang pun yang mendekat dan membantunya.
Saidah meninggal dunia pada usianya yang relatif masih muda, yakni dalam usianya
yang ke 34 tahun.
Menjadi
PKI (Pejuang Kemerdekaan Indonesia)
Berselang beberapa saat setelah
ditinggalkan oleh Ibunya, demi untuk memberikan nafkah bagi ke 8 (delapan)
adik-adiknya, Pram pun pergi ke Jakarta. Di Jakarta Pram bekerja di kantor
berita milik Jepang, Domei. Sebenarnya Pram tidak ingin bekerja untuk Jepang,
karena menurut Pram, bekerja dengan Jepang sama saja menjadi antek-anteknya
Jepang. Namun demikian, karena Pram harus mencari nafkah untuk ke 8 (delapan)
adiknya tersebut, Pram pun, dengan terpaksa, harus menerima pekerjaan dari
Jepang tersebut. Setiap kali Pram mendapatkan gaji dari hasil kerjanya
tersebut, setiap kali pula Pram selalu mengirimkan uang untuk adik-adiknya di
Blora.
Tidak hanya bekerja, di Jakarta
pun Pram juga memasuki lembaga pendidikan demi untuk memperkaya dirinya dengan
ilmu pengetahuan. Pada saat itu Pram mendaftarkan diri menjadi pelajar di lembaga pendidikan Taman Siswa. Di
Taman Siswa inilah Pram mempelajari bahasa Indonesia. Bagi Pram, pelajaran
bahasa Indonesia tidak hanya sebagai suatu pelajaran akan tetapi lebih dari
itu. Pendidikan bahasa Indonesia adalah sebagai sebuah usaha untuk menumbuhkan
semangat nasionalisme kepada peserta didiknya. Pram bersekolah di Taman Siswa
pada siang harinya, sedangkan pada sore hari dan malam harinya bekerja di
Kantor Berita milik Jepang, Domei.
Pram ketika naik ke kelas 3
(tiga) oleh Jepang lembaga pendidikan Taman Siswa itu dibubarkan. Namun, walau
pun Taman Siswa dibubarkan, bagi Pram belajar tidak hanya disebuah lembaga
pendidikan formal, tetapi belajar bisa juga dilakukan secara otodidak. Belajar
secara otodidaklah yang dilakukan oleh Pram untuk menimba ilmu sastra
sebanyak-banyaknya, perhatian Pram pada waktu itu terfokus pada tumpukan
buku-buku kesusastraan yang dibeli atau disewanya pada sebuah tempat penyewaan
buku.
Atas kebijakan dari Jepang,
pada tahun 1944, Pram terpilih sebagai salah satu pekerja Jepang, Domei, untuk
melanjutkan pelajarannya di Taman Siswa yang sempat terinterupsi tersebut.
Namun, Pram tidak melanjutkannya ke Taman Siswa akan tetapi ke sebuah sekolahan
yang dikelola oleh Jepang, Stenografi Tjou Sangiin. Pada saat Pram menempuh
pendidikannya di Stenografi Tjou Sangiin, pada saat inilah, Pram berkenalan
dengan berbagai macam tokoh-tokoh politik. Akhirnya Pram pun lulus dari sekolah
Stenografi Tjou Sangiin, Pram lulus pada bulan Mei 1945. Tidak puas atas ilmu
yang telah diperolehnya dari Stenografi Tjou Sangiin Pram pun melanjutkan
pendidikannya di Sekolah Tinggi Islam, Dondangdia. Di Sekolah Tinggi Islam
inilah Pram belajar Filsafat, Sosiologi, dan Psikologi. Sementara itu Pram
masih terus bekerja untuk Jepang di Domei.
Setelah Pram merasa ilmunya
cukup untuk memandirikan dirinya tanpa harus bekerja untuk Jepang, maka Pram
pun keluar dari pekerjaannya di Domei dan kemudian berkelana mencari
penghidupan di Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagai seorang penulis lepas. Dan
pada saat inilah Pram mulai memproduksi tulisan-tulisannya untuk dipublikasikan
diberbagai media massa cetak pada waktu itu.
Pada saat Pram berada di
Kediri, dia mendengar berita dari seorang bekas tentara PETA (Pembela Tanah
Air) bahwa kemerdekaan Indonesia telah diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta.
Ketika mendapatkan berita itu, Pram pun bergegas pergi ke Surabaya, singgah
sebentar di kampung halamannya Blora untuk menengok adik-adiknya, kemudian Pram
ke Jakarta untuk menggabungkan diri sebagai pemuda pembela tanah air untuk
mempertahankan kembali Indonesia dari tangan pihak asing. Pram bergabung dalam
Badan Keamanan Rakyat. Pada saat bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat inilah
Pram bersama dengan teman-teman lainnya dengan gencar melakukan serangan ke
tangsi-tangsi militer Jepang untuk mengusir tentara Jepang. Tidak hanya itu
saja, Pram pun turut serta melakukan perang gerilya melawan Belanda yang
berusaha menjajah kembali Indonesia. Karir Pram di dunia kemiliteran ini sempat
mengantar Pram untuk mendapatkan pangkat Letnan Dua, yang memimpin pasukan
terdiri dari 60 (enam puluh) prajurit. Seandainya karir Pram di dunia militer
diteruskan pasti Pram akan menjadi pejabat elite militer tetapi Pram harus
keluar dari dunia kemiliteran karena Pram menilai saat itu telah terjadi
penyuapan, permusuhan, dan konflik kepentingan di dalam tubuh dinas kemiliteran.
Setelah ke luar dari dunia
kemiliteran, Pram kembali ke dunia persurakkabaran. Pada bulan Januari 1947
Pram bekerja sebagai redaktur majalah Sadar. Saat bekerja sebagai redaktur
inilah Pram mulai berkenalan dengan seorang H.B. Jassin seorang pekerja dari
Balai Pustaka. Akhirnya Pram pun bekerja di Balai Pustaka, dan pada saat
bekerja di Balai Pustaka inilah Pram meproduksi karya-karya tulisnya. Selain
berkarya, Pram pada waktu itu juga intensif secara otodidak mempelajari
tulisan-tulisan seorang sastrawan bernama Idrus. Dari Idrus inilah Pram banyak
belajar tentang dunia kesusastraan, dan karena merasa berjasa telah mendapatkan
sebentuk “ilham” dari Pram membaca tulisan-tulisan Idrus ini sampai-sampai Pram
menganggap Idrus adalah guru besarnya di dalam dunia ilmu kesusantraan.
Pada suatu hari Pram bertemu
dengan Idrus di Balai pustaka, dan Pram diperkenalkan oleh seorang temannya di
Balai Pustaka kepada Idrus. Teman Pram itu berkata kepada Idrus, “ini loh Bung
yang namanya Pramoedya Ananta Toer.” Apa respon yang diberikan oleh Idrus?
Idrus dengan nada mencemooh, berseru kepada Pram, “ O.... ini tokh yang namanya
Pram. Pram! Kamu tidak menulis Pram, tapi kamu berak.” Rupa-rupanya Idrus tidak
menyukai tulisan-tulisan yang diproduksi Pram dan hal itu langsung
disemprotkannya—dengan nada menghina—ke depan hidung Pram dengan tanpa
ditutup-tutupi. Namun demikian, walau pun Idrus menghina Pram. Pram sebagai
sosok manusia yang berjiwa besar, justru penghinaan dari Idrus tersebut
ditanggapinya dengan rasa berterima kasih dan Pram tidak pernah dendam kepada
Idrus.
Sebagai seorang sastrawan, yang
merasa bertanggung jawab terhadap bangsa dan negaranya, Pram pada saat bekerja
di Balai Pustaka selalu memproduksi tulisan-tulisan yang bernada provokatif dan
mengandung unsur-unsur perlawanan terhadap Belanda. Dan karena tulisan-tulisannya
itulah, kemudian orang-orang Belanda memburu dan menangkap Pram. Dan
dijebloskanlah Pram ke dalam penjara. Ketika berada di dalam penjara Pram,
lagi-lagi merasa kesepian, karena tidak ada pun satu kawannya yang sudi sekedar
menjenguknya. Hanya satu orang perempuan yang sering bolak-balik menjenguk dan
merawat Pram, dia pun datang menjenguk dan merawat Pram karena tugasnya sebagai
salah seorang anggota Palang Merah. Nama perempuan itu adalah Arfah Iljas.
Karena merasa kesepian di dalam
penjara, Pram pun sempat untuk berputus asa menjalani kehidupannya. Pram
berusaha melakukan bunuh diri pada saat itu dengan cara melakukan pati raga.
Pati raga adalah tindakan mistis yang dilakukan dengan cara membiarkan diri
(pasrah) didera oleh rasa kecewa, ketakutan, frustasi, dan kegalauan. Pram
dalam prilaku pati raganya tersebut, berkata pada Tuhan, “Tuhan ambillah
nyawa-ku apabila tidak diperlukan lagi oleh hidup.” Setelah berkata seperti itu
tiba-tiba—dalam imajinasi Pram—ada seekor macan yang muncul dari dalam tembok
penjara, seakan dengan garangnya ingin menerkam Pram yang sudah tidak berdaya.
Pram pada waktu itu sangat ketakutan, seluruh bulu kudunya berdiri dan tubuhnya
bergetar hebat. Namun, ketika macan itu semakin mendekati Pram, Pram pun
berusaha melawan ketakutannya itu maju ke muka dan menantang macan itu dan
kemudian berkata, “ayo maju sini, kalau kau ingin membunuhku hadapilah aku,
bunuhlah aku kalau bisa bisa!” Pada saat Pram telah membangkitkan keberaniannya
dan berkata seperti itu, seketika itulah macan itu lenyap dari hadapan Pram.
Dan ketika Pram membuka matanya, sadar dari prilaku pati raganya, Pram
merasakan tubuhnya memiliki kekuatan yang sebelumnya tidak dia miliki (lihat:
pengakuan Pramoedya Ananta Toer dalam seri film dokumenter Yayasan Lontar). Ketika
Pram merasa mendapatkan kekuatan dari usaha bunuh dirinya tersebut, Pram
kemudian memproduksi karya tulis, yang sering kali diselundupkan oleh orang
Belanda yang bersimpati kepada Pram. Orang Belanda itu bernama Prof. Resink.
Setelah berhasil karya-karya Pram itu diselundupkan, karya-karya Pram tersebut
kemudian diterbitkan oleh berbagai majalah di Indonesia.
Seks
dan Lenyapnya Rasa Rendah Diri
Akhirnya pada 18 Desember 1949,
Pram dibebaskan dari penjara akibat penyerahan kedaulan dari Belanda ke
Indonesia. Setelah bebas dari penjara, Pram semakin getol menulis, dan
tulisan-tulisannya semakin garang menyerang segala bentuk ketidak adilan. Hingga
akhirnya pada Pram mendapatkan penghargaan dari Balai Pustakan pada 1950 atas
karyanya yang berjudul “perburuan” yang ditulisnya pada saat Pram masih
mendekam di dalam penjara tersebut.
Pada saat di dalam penjara,
Pram sebenarnya menaruh hati pada seorang perempuan yang telah menjenguk dan
merawatnya. Dan cinta pun bersambut, perempuan yang bernama Arfah Iljas itu pun
juga jatuh hati kepada Pram. Ketika dua hati bertemu, Pram pun memberanikan
diri untuk melamar perempuan itu. Pada 1950 (tahun yang sama ketika Pram
mendapatkan penghargaan dari Balai Pustaka) Pram pun menikahi Arfah Iljas.
Beberapa hari setelah
pernikahannya dengan Arfah Iljas, Pram medapatkan kabar kalau Ayahnya, Mastoer,
sedang sekaratul maut. Mendengar kabar buruk itu, Pram pun kemudian pulang ke
Blora untuk menengok Ayanya tersebut. Pada saat sesampainya di Blora, Pram
mendapatkan pemandangan yang sangat menyedihkan, keluarganya hidup dalam
keadaan sakit, miskin, dan mengalami kehancuran segalanya. Pada saat inilah,
sekali lagi, Pram mengambil alih tanggung jawab terhadap adik-adiknya dan
terpaksa memikul beban hidup keluarga yang sangat besar.
Terbaginya beban tanggung jawab
Pram kepada adik-adiknya dan keluarganya sendiri (istri dan anaknya) membuat
Pram sering terlibat dalam pertengkaran dengan istrinya. Istrinya menuding Pram
lebih mementingkan adik-adiknya ketimbang anak dan istrinya sendiri. Selain
sering terlibat pertengkaran dengan istrinya tersebut, Pram juga sudah
berkali-kali (paling tidak sudah 4 kali) diusir oleh istrinya dari rumah yang
ditinggali bersama istrinya tersebut, pada waktu itu Pram menumpang di rumah
istrinya.
Di dalam kekalutan Pram karena
permasalahan keluarga tersebut, pada 1953, Pram pun ditawari untuk pergi ke
negeri Belanda. Pada waktu itu ada pertukaran antar sastrawan Indonesia dengan
Belanda dari Sticusa (Stichtung voor
Culturele Samenwerking: Yayasan Kerjasama Kebudayaan Belanda-Indonesia)
yang secara bertahap telah mengirimkan banyak seniman-seniman Indonesia ke sana.
Tanpa basa-basi Pram pun akhirnya menerima tawaran tersebut. Ada kemungkinan
besar diterimanya tawaran untuk melawat ke negeri Belanda itu dilatar belakangi
oleh usaha Pram untuk menghibur dirinya sendiri ketika Pram berada dalam
tekanan permasalahan keluarga tersebut.
Akhirnya, tibalah Pram di
negeri Belanda. Pada waktu itu usia Pram telah menginjak umur 28 tahun.
Setibanya Pram di Belanda, Pram menilai bahwa, pada waktu itu, orang-orang
Belanda menganggap rendah orang Indonesia, orang Belanda selalu menganggap
bahwa orang Indoneisa itu miskin dan bodoh. Dan Pram pun merasa selalu digurui
oleh mereka. Kenyataan seperti inilah yang saat itu memicu perasaan minder
(rendah diri) yang dibawanya sejak kecil mencuat dengan brutal ke permukaan,
menyiksa Pram (lihat: Andre Vltchek dan Rossie Indira, 9:2006). Namun, ketika
Pram bertemu dengan seorang perempuan dari Belanda atau noni Belanda akhirnya
rasa rendah diri itu pun lenyap seketika. Bagaimana rasa rendah diri Pram bisa
lenyap seketika? Begini ceritanya, Pram dengan noni Belanda itu sempat
berpacaran dan dalam masa-masa pacaran itulah mereka melakukan hubungan seksual
layaknya suami istri. Pram pada waktu itu merasa beruntung karena merasakan
nikmat yang luar biasa dari hubungan seksual tersebut, terlebih lagi si noni
pada waktu itu masih perawan. Menurut pengakuan Pram, erangan-kenikmatan dari
noni Belanda yang sedang melakukan hubungan seksual dengan Pram selalu
terngiang-ngiang di dalam telinga setiap saat, di setiap Pram sedang menulis
atau memproduksi karya-karyanya.
Selain kenikmatan seksual yang
dapat direngkuh oleh Pram dalam hubungan seksual tersebut, hal yang membuat
Pram merasa sangat berterima kasih terhadap pacar Belandanya tersebut adalah
lenyapnya, secara seketika, rasa rendah diri Pram yang telah dibawanya semenjak
kecil. Pram pada waktu itu merasa sejajar dengan semua manusia yang ada di
dunia ini. Dan Pram pun semakin memiliki semangat untuk melatih keberaniannya
dalam menyikapi hidup.
Bertarung
Melawan Tekanan Hidup
Pada bulan Januari 1954, Pram
kembali ke Indonesia. Sekembalinya Pram ke Indonesia, kebetulan pada saat itu
sedang terjadi pemotong atas anggaran pendidikan belanja pendidikan pengajaran
dan kebudayaan. Kebijakan pemotongan anggaran tersebut, sudah pasti, berdampak
pada terjadinya krisis dunia penerbitan dan yang kemudian hal ini juga
berdampak pada terjadinya krisis keuangan terhadap Pram.
Dalam kesulitan mendapatkan
rezeki karena akibat dari kebijakan pemotongan tersebut, istri Pram, Arfah
Iljas, semakin menjadi-jadi memerahi Pram, memaki dan mengusir Pram. Sadar
berkali-kali Pram diusir oleh istrinya tersebut, Pram pun akhirnya mengambil
keputusan untuk menceraikan istrinya. Dan bercerailah Pram dengan istrinya,
Arfah Iljas, seorang perempuan yang pada mulanya dianggap Pram mencintai Pram
dengan tulus.
Setelah mencaraikan istrinya,
beberapa bulan kemudian, Pram berusaha mencari pengganti istrinya yang
diceraikan untuk menemaninya menjalani kehidupan yang terus menekannya ini.
Akhirnya Pram pun bertemu dengan Maimunah Tamrin dan kemudian menikahinya pada
1955. Maimunah Thamrin adalah keponakan perempuan Husni Thamrin, seorang
pahlawan nasional.
Setelah menikah dengan Maimunah
Thamrin, karya-karya Pram semakin dikenal luas baik di dalam negeri maupun di
luar negeri. Karena begitu terkenalnya Pram, pada 1956 Pram pun di undang oleh
Lembaga Sastrawan China Pusat untuk menghadiri peringatan meninggalnya pujangga
Lu Sin. Ketika berada di China Pram pun belajar dan mengetahui tentang
bagaimana caranya memperjuangkan ketidak adilan dan pembelaan terhadap rakyat
jelata melalui tulisan. Pram belajar bagaimana mengubah teks sebagai alat
perlawanan.
Tidak hanya ke China, pada
tahun-tahun selanjutnya Pram pun di undang ke Turkemania dan Moskow. Setelah
singgah di Siberia, Baijing dan Rangoon dia kembali lagi ke Indonesia pada 21
Oktober 1958. Seiring dengan semakin terkenalnya Pram di dunia internasional,
Pram pun merasa dirinya semakin percaya diri dan rasa rendah dirinya tersebut
benar-benar hancur dan musnah. Pram pun merasa menjadi seorang manusia kuat dan
berani menentang segala bentuk ketidak adilan.
Pada tahun 1959 Pram melihat
ada sebuah organisasi kebudayaan yang sejalan dengan misinya untuk melawan
segala bentuk ketidak adilan, lembaga tersebut bernama Lekra (Lembaga
Kebudayaan Rakyat). Dan pada tahun itulah Pram bergabung dengan Lekra. Sebuah
lembaga kebudayaan yang disebut-sebut berafiliasi dengan Partai Komunis
Indonesia.
Pada zaman kepemimpinan
Soekarno pernah terjadinya dikeluarkannya Peraturan Perundang-undangan
(Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1959) yang mendiskriminasikan orang-orang
Tiong Hoa untuk menjalankan bisnisnya, berdagang. Di dalam Peraturan
Perundang-undangan tersebut dirumuskan bahwa orang Tiong Hoa dilarang berdagang
di daerah kecamatan dan kabupaten. Melihat ketidak adilan yang telah dilakukan
oleh Soekarno tersebut, Pram pun kemudian melakukan perlawanan dengan cara
menulis sebuah karya berjudul “Hoa Kiau
di Indonesia.” Buku dituduh berisi pembelaan terhadap pedagang-pedagang
Tiong Hoa (pedagang keturunan China). Akibat dari buah karyanya tersebut, Pram
pun ditanggkap dan kemudian dijebloskan ke dalam penjara selama 9 (sembilan)
bulan—seumur dengan usia kandungan dalam keadaan normal. Di jebloskannya Pram
di dalam penjara, bukan berarti membuat Pram surut dalam berkarya, justru di
dalam pajara tersebut Pram mendapatkan inspirasi yang melimpah sebagai bahan
baku Pram dalam memproduksi karya-karya tulisnya. Dipenjarakannya Pram,
seakan-akan, merupakan tindakan penetrasi penis (represi kekuasaan) ke dalam
vagina (daya imajinasi Pram) yang ujung-ujungnya membuahkan kandungan inspirasi
yang kaya di dalam benak Pram.
Setelah Pram dibebaskan dari
dalam penjara, situasi perpolitikan di Indonesia semakin runyam dan gawat. Dan
hal ini lah yang kemudian menyeret meletusnya peristiwa 30 September 1965.
Peristiwa tersebut dianggap oleh Soeharto PKI lah biang keladinya, atas
anggapan inilah kemudian Soeharto dan militer membersihkan orang-orang PKI dan
berbagai organisasi yang berafiliasi dengan PKI, termasuk Lekra dimana Pram ada
di dalamnya. Dianggap sebagai simpatisan PKI, Pram pun akhirnya ditanggap oleh
rezim militer Soeharto dan dijebloskan ke kamp konsentrasi, Pulau Buru.
Cerita
Pram Tentang Pulau Buru dan Karya Tulisnya
Penangkapan Pram terjadi pada
13 Oktober 1965. Penangkapan ini dilakukan oleh rezim militernya Soeharto di
rumah kediaman Pram. Sebelum Pram ditangkap, ada segerombolan orang yang
melempari rumah Pram dengan batu-batu besar hingga pintu rumah kediaman Pram
hancur. Pelemparan tersebut terjadi pada malam hari. Ketika itu Pram berusaha
mengetahui siapa gerangan yang melempari rumahnya dengan batu-batu besar
tersebut? Untuk mengetahuinya, ketika terjadi pelemparan, Pram lalu menyalakan
lampu kemudian keluar rumah dan berteriak-teriak menantang orang-orang yang
melempari rumahnya tersebut. Namun, apabila Pram menyalakan lampu dan keluar
rumah, selalu saja orang-orang tersebut melarikan diri dan bersembunyi, dan
ketika Pram masuk lagi ke rumahnya orang-orang itu muncul kembali dan kembali
melempari rumah Pram dengan bebatuan. Pada saat itu kaki Pram sampai
berdarah-darah karena terkena lemparan batu. Saking jengkelnya Pram, Pram pun
mengambil samurai dari dalam rumahnya, keluar rumah dan berusaha mengejar
orang-orang itu, sambil berteriak, “pengecut, bukan begini caranya berjuang!
saya juga pejuang! sini pemimpin kalian! kalau berani, datang ke sini!” (Andre
Vltchek dan Rossie Indira, 30:2006).
Ketika Pram berusaha untuk
mengetahui siapa gerombolan yang telah melempari rumahnya dengan batu tersebut,
pada saat itulah terdengar suara letusan bunyi tembakan otomatis,
“dor-dor-dor!” dan gerombolan itu pun berhenti melempari rumah Pram dengan batu
dan kemudian melarikan diri. Pada saat itu, muncullah para tentara mendatangi
Pram yang sedang meradang-marah, dan salah satu diantara mereka berkata, “Pak,
rakyat jangan dilawan.” Dan jawab Pram, “mereka itu bukan rakyat, tetapi
gerombolan pengecut!” Setelah mendengar jawaban dari Pram tersebut, Pram pun
ditangkap oleh para tentara itu sambil berkata, “mari Bung Pram, kami akan
amankan.” Apa maksudnya diamankan? Ternyata maksud dari kata “diamankan”
tersebut adalah ditanggap dan Pram baru mengetahuinya pada saat itu bahwa kata
“diamankan” adalah ditangkap. Pada waktu itu Pram sempat terheran-heran juga,
para gerombolan itu yang melempari rumahnya dengan batu, eh, malah Pram yang
ditanggap. “Permainan macam apa ini?!” tanya Pram dalam hati.
Tidak hanya ditangkap dan
kemudian ditahan, semua milik Pram, pada saat itu, dirampas oleh para tentara,
termasuk apa yang dipakai (jam tangan) yang dipakai oleh Pram pada saat itu.
Pram di bawa dengan truk dan di dalam truk itulah Pram diintrogasi dan disiksa
oleh para tentara. Pram dipukul dengan popor senjata, ditampar dan diludahi.
Tidak hanya barang-barang bergerak saja yang dirampas oleh tentara, bahkan
sebuah rumah milik Pram di Jalan Rawamangun dirampas oleh para tentara dan
hingga Pram menutup mata rumah itu tidak pernah dikembalikan oleh para tentara
itu kepada Pram.
Istri Pram, Mutmainah Thamrin,
pada saat itu sedang melahirkan di tempat lain. Ketika Mutmainah mendengar
kabar dari salah seorang tetangganya bahwa Pram ditangkap oleh para tentara,
segera Mutmainah pulang ke rumah. Ketika Mutmainah sudah tiba di rumah, dia
menyaksikan rumahnya sudah diberantakan, dirusak dan diobrak-abrik oleh
tentara. Dan pada saat itulah Mutmainah menyaksikan di sendiri para tentara itu
membakar kertas-kertas (draft naskah) milik Pram, termasuk delapan naskah milik
Pram yang belum terbit. Tidak itu saja, para tentara itu secara membabi buta
juga membakar perpustakaan pribadi Pram. Begitu geramnya Pram terhadap aksi
pembakaran naskah ini, dan Pram pun tidak bisa memaafkan apa yang dilakukan
oleh para tentara tersebut. Pram pernah berkata bahwa pembakaran naskah
miliknnya tersebut adalah perbuatan setan. Dan hal ini menunjukkan betapa
rendahnya budaya mereka. “Tentara-tentara goblok ga punya otak, kelakuan mereka
seperti anjing-bajingan,” ujar Pram dengan amarah yang memuncak ketika di
wawancarai oleh Andre Vltchek dan Rossie Indira (30:2006).
Sebelum Pram ditanggkap dan
dibawa oleh para tentara, sebenarnya Pram sudah diperingatkan oleh salah
seorang temannya, bahwa sudah banyak simpatisan-simpatisan Partai Komunis
Indonesia yang ditangkap, dan pola-pola penangkapannya sama sebagaimana yang
dialami oleh Pram, yakni rumahya dilempari batu oleh segerombolan orang dan
kemudian baru setelelah itu para tentara datang untuk menangkap si orang yang
ada di dalam rumah tersebut. Atas apa yang disampaikan oleh salah seorang
temannya tersebut, Pram pada waktu itu bersikeras untuk tidak mau meninggalkan
rumahnya, dia harus mempertahankan apa yang menjadi miliknya dan Pram tidak
takut dengan orang-orang yang akan melempari rumahnya dengan batu, dan Pram pun
tidak takut untuk berhadapan dengan para tentara. Benar saja, setelah beberapa
hari pemberitahuan dari salah seorang kawannya itu, hal itu akhirnya menimpa
Pram. Pada saat Pram ditangkap tersebut sebenarnya Pram membawa serta mesin
tik, naskah buku yang berjudul “gadis pantai,” dan gajinya sebagai penasihat di
sebuah pabrik pensil dan juga gajinya sebagai dosen di Res Publica. Semua itu
dirampas oleh tentara. Untuk gaji miliknya dirampas dan di”makan” oleh para
tentara, sedangkan untuk mesin tik dan naskah yang dibawa oleh Pram tersebut
dirampas kemudian di bakar oleh para tentara. Untuk naskah “gadis pantai”
untung saja salinannya sudah dititipkan oleh temannya yang memberitahukan
tentang kasus penangkapan tersebut, yang kemudian oleh temannya tersebut
diserahkan pada salah satu penerbit yang ada pada waktu itu.
Pram pada waktu itu benar-benar
dimiskinkan oleh tentara, hingga sampai-sampai dia tidak bisa menafkahi
anak-anak dan istrinya. Pada saat itu penderitaan tidak hanya dialami oleh
Pram, anak-anak dan isrinya pun ikut menanggung beban. Anak-anak dan istrinya
sempat hidup lontang-lantung, menumpang ke sana dan ke sini. Walau pun dalam
keadaan seperti itu, menurut Pram, istrinya itu selalu memberikan kesetiaannya
kepada Pram, dan hal ini ditunjukkan dalam bentuk rutinnya sang istri menjenguk
Pram, dan setiap kali istrinya menjenguk dia selalu membawakan makanan untuk
Pram walau pun dia sendiri sulit untuk mendapatkan makanan untuk dirinya
sendiri. Menurut Pram, ketika di dalam penjara, para tahanan sulit sekali untuk
mendapatkan makanan. Pram pernah menyaksikan sendiri, pernah dalam satu hari
ada enam orang yang dekat dengan dirinya mati karena kelaparan.
Setelah Pram ditangkap, Pram di
bawa ke berbagai tempat. Pertama kali Pram di bawah ke markas CPM Guntur, terus
ke markas besar Kodam V, lalu ke penjara Bukit Duri di Jakarta dan ke penjara
Tangerang. Selama 4 (empat) tahun Pram dipindahkan dari satu tempat ke tempat
lainnya, sampai akhirnya Pram dikirim ke kamp konsentrasi di Pulau Buru. Di
pulau Buru, Pram menjalani hukuman selama bertahun-tahun.
Kamp konsentrasi Pulau Buru,
pada saat itu, terlihat sebagai bangunan kamp yang dibangun dengan terbuat dari
dedaunan, seluruh area dipagari dengan kawat besi berduri. Dan seluruh tahanan
harus bekerja di ladang atau di sawah. Pram, pada waktu itu, diperintahkan
untuk melakukan penggalian saluran air, membuat saluran irigasi, membangun
jalan, dan bekerja di sawah. Ketika Pram mengerjakan itu semua, Pram selalu
ditemani oleh bentakan dan caci-maki dari tentara yang mengawasi pekerjaannya
tersebut. Di bawah tekanan tersebut Pram selalu berpikiran dimana Tuhan?
mengapa Tuhan tidak menolong Pram? Pertanyaan-pertanyaan tersebut, kemudian,
menyeret Pram untuk tidak percaya adanya keberadaan Tuhan. Bagi Pram, Pram
adalah Pram. Pram adalah sosok orang yang harus memperjuangkan dirinya sendiri
tanpa meminta-minta kepada siapa pun. Pram pun teringat pesan Ibunya, “jangan
pernah minta-minta kepada siapa pun!” Ketika Pram diwawancarai oleh Andre
Vltchek dan Rossie Indira tentang pandangannya tentang agama, Pram dengan tegas
mengatakan bahwa “Saya hanya percaya pada diri saya
sendiri. Dan dengan berjalannya waktu, saya tahu bahwa saya hanya bisa
bergantung pada diri saya sendiri. Saya ditahan oleh Orde Baru selama 34 tahun
di penjara dan kamp konsentrasi, dan Tuhan tidak pernah menolong saya.
Orang-orang datang kepada Tuhan untuk mengemis. Menurut saya berdoa itu sama
dengan mengemis” (16:2006).
Untuk menghibur dirinya
sendiri, Pram dalam menjalankan kerja paksa di Pulau Buru selalu menganggap
bahwa aktifitas itu adalah bentuk kegiatan melatih otot-otot fisik agar menjadi
sehat dan kuat. Otot yang tidak pernah dilatih secara keras akan menjadi otot
yang tidak berguna dan sakit. Tidak hanya ketangguhan intelektual dan
keberanian mental yang harus ditempat, fisik juga harus ditempa secara keras
untuk mendapatkan hasil yang mencengangkan.
Penyiksaan dan penghinaan serta
perbuatan-perbuatan di luar batas prikemanusiaan, menurut Pram, adalah
pemandangan yang biasa yang terjadi di Pulau Buru. Bukan hanya disiksa dan
dihina, orang-orang tahanan di Pulau Buru juga banyak yang dibunuh oleh para
tentara penjaga. Menurut Pram, di Pulau Buru terdapat apa yang dinamakan dengan
“jigo kecil,” untuk menyiksa dan membunuh. Tempat Pram, di Pulau Buru, lebih
dekat ke tengah pulau, sedangkan jigo kecil itu dekat dengan pelabuhan. Pada
suatu hari Pram pernah melihat seorang tahanan politik yang disuruh lari dan
dikejar leh gerobak kuda. Kalau tahanan politik itu tidak mampu lari lagi, maka
dia akan dilindas oleh gerobak kuda itu. Pram melihat dengan mata kepalanya
sendiri. Berikut ini beberapa cerita penyiksaan yang disaksikan oleh Pram
ketika mendekam di Pulau Buru.
Cerita pertama, Pram mengatakan
bahwa supaya tahanan politik bisa hidup, tahanan politik harus mencari sendiri
sesuatu untuk dimakannya. Salah seorang teman tahanan Pram, saat itu, beternak
ayam, tetapi dia selalu saja kehilangan seekor ayam setiap hari. Teman Pram itu
merasa jengkel sekali. Karena ingin tahu siapa yang mencuri ayamnya. Dia
meneruh tai kerbau di dalam kandang ayam. Yang dia tidak tahu adalah bahwa yang
mencuri adalah tentara penjaga. Jadi ketik mereka mecoba mecuri lagi, mereka
hanya mendapatkan tai kerbau. Keesokan paginya para tahanan politik dikumpulkan
semuanya, disuruh berbaris berjajar, dan ditanya kendang ayam milik siapa itu?
Setelah mengetahui siapa pemilik kandang ayam itu, sang pemilik pun dikeroyok
oleh para tentara tersebut, dipukuli hingga babak belur. Dan di depan para
tahanan politik yang berbaris tersebut, tentara penjaga itu berkata bahwa orang
yang mereka pukuli itu penipu (Andre Vltchek dan Rossie Indira, 36-37:2006).
Cerita kedua, salah seorang
rekan tahanan Pram tahanan politik di Pulau Buru memelihara ikan di tebat. Dia
sering sekali kehilangan ikan-ikannya, dan akhirnya dia mencoba mengintip siap
yang mencuri, dan ternyata tentara yang mencuri. Sewaktu mereka tahu bahwa
rekan Pram ini menintip mereka dalam menjalankan aksi pencurian ikannya, mereka
menembaknya langsung di tempat. Dan sekita itu lah teman Pram itu mati (Andre
Vltchek dan Rossie Indira, 37:2006).
Cerita ketiga, seorang teman
Pram menyimpan sesobek kertas koran bekas bungkus. Aturan yang berlaku di Pulau
Buru adalah para tahanan politik dilarang untuk membaca sama sekali, dan ketika
tentanra mendapatkan bahwa teman Pram itu menyimpan sepotong korang bekas,
mereka mengikat dan menggantungnya. Dua hari kemudian para tahanan politik di
pulau buru itu menemukan mayatnya mengapung di sungai (Andre Vltchek dan Rossie
Indira, 37:2006).
Cerita keempat, beberapa teman
Pram lainnya sendang bekerja di sawah. Mereka istirahat makan siang di gubuk,
dan di gubuk itu disimpan pupuk, warnanya putih. Kemudian tentara datang dan
mereka melihat pupuk itu di dalam gubuk, mereka pikir itu gula. Seorang tentara
mencicipi pupuk itu danlangsung disemurkan. Semua yang berada di dalam gubuk
langsung disiksa tanpa ampun. Sekali lagi, tentara menuduh mereka menipu (Andre
Vltchek dan Rossie Indira, 37-38:2006).
Pada saat Pram menjalani
hukuman di Pulau Buru, Pram mengubah tekanan menjadi sebuah hal yang bersifat
kreatif. Hal itu dilakukan oleh Pram dengan cara menulis karya. Pada awalnya
Pram selalu mendapatkan siksaan fisik dari tentara penjaga dan juga selalu
dilarang untuk menulis karya, tetapi karena adanya tekanan dari luar negeri
(Amerika Serikat), maka Pram pun bebas dari siksaan dan akhirnya diperbolehkan
untuk menulis karya. Di pulau buru lah Pram menelurkan karya-karyanya yang
sangat terkenal, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Salah satu karya
Pram yang sangat terkenal yang ditulisnya di Pulau Buru adalah tetralogi bumi
manusia.
Setelah Pram bebas dari Kamp
Konsentrasi Pulau Buru, pada tahun 1980, Pram menerbitkan bukunya yang bertitle
Pulau Buru tapi dibreidel atau dilarang terbit oleh rezim Orde Baru. Demikian
juga dengan buku-buku novel lainnya yang berusaha diterbitkan di Indonesia pada
zaman Indonesia dipimpin oleh seorang diktator dari militer, Soeharto, selalu
saja buku-buku itu dilarang terbit dan beredar. Namun, walaupun pada saat itu,
buku-buku Pram dilarang terbit dan beredar, buku-buku yang ditulis oleh Pram
tersebut banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di luar negeri,
diterbitkan dan diedarkan secara luas di luar negeri. Dan dari sinilah, dari
royalti buku-bukunya yang diterbitkan diluar negeri Pram dapat bertahan hidup
dan menghidupi keluarganya. Hingga akhirnya, pada tahun 1998, ketika Soeharto
terjungkal dari tahta kepresidenannya, pada saat itulah buku-buku tulisan Pram
di terbitkan dan tersebar luas beredar di Indonesia.
Hembusan
Nafas Terakhir, Pram
Pada 27 April 2006, Pram sempat
tidak sadarkan diri. Pihak keluarga akhirnya memutuskan untuk membawa Pram ke
rumah saki St. Corulos pada saat itu juga. Pram oleh dokter didiagnosis
mengalami radang paru-paru, ditambah dengan komplikasi ginjal, jantung dan
diabetes.
Pram hanya bertahan selama 3
(tiga) hari di rumah sakit. Walau pun kondisinya sangat buruk, pada waktu itu,
Pram bersikeras untuk bisa di bawa pulang. Akhirnya karena kengototan Pram
tersebut keluarga pun membawa pulang Pram pada 29 April 2006. Kondisi Pram
sesampainya di rumah jauh lebih baik. Meski pun masih kritis, Pram pada waktu
itu sudah bisa memiringkan badannya dan menggerak-gerakkan tangannya.
Kondisi Pram memburuk pada
pukul 20.00 Wib. Pram masih dapat tersenyum dan mengepalkan tangannya ketika
sastrawan, Eka Budianta, datang menjenguknya. Pram juga sempat tertawa terkekeh
ketika para penggemar yang menjenguknya membisiki ke telinga Pram bahwa
Soeharto masih hidup. Kondisi Pram pada sati itu membaik, kemudian memburuk,
kemudian membaik lagi, kemudian memburuk, begitu terus hingga Pram mencopot
infusnya dan berkata bahwa dirinya telah sembuh.
Akhirnya Pram pun menghembuskan
nafas terakhirnya pada pukul 05.00 Wib. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya
Pram sempat berkata (mengerang), “Akhiri saja saya. Bakar saya.” Pramoedya
Ananta Toer yang sepanjang hidupnya penuh dengan tekanan akhirnya wafat pada
usianya yang ke 81 (delapan puluh satu) tahun.
DAFTAR PUSTAKA
Andre
Vltchek dan Rossie Indira, Saya Terbakar
Amarah Sendirian!—Pramoedya Ananta Toer dalam Perbincangan dengan Andre
Viltchek dan Rossie Indira, Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta,
Cetakan Kedua, 2006.
Yayasan
Lontar, Mendengar si Bisu Bernyanyi,
Seri Video Dokumenter, Tanpa Tahun.
Koh Young
Hun, Prof., Pramoedya Menggugat: Melacak
Jejak Indonesia, Penerbit Kompas Gramedia, Jakarta, Cetakan Pertama, 2011.
0 comments:
Post a Comment