Sunday 5 February 2017

PRAMOEDYA ANANTA TOER: HIDUP DI BAWAH TEKANAN



Ditulis Oleh: Ismantoro Dwi Yuwono
--Yogyakarta Rabu, 15 Januari 2014--

Saya hanya percaya pada diri saya sendiri. Dan dengan berjalannya waktu, saya tahu bahwa saya hanya bisa bergantung pada diri saya sendiri. Saya ditahan oleh Orde Baru selama 34 tahun di penjara dan kamp konsentrasi, dan Tuhan tidak pernah menolong saya. Orang-orang datang kepada Tuhan untuk mengemis. Menurut saya berdoa itu sama dengan mengemis (Pramoedya Ananta Toer dalam Andre Vltchek dan Rossie Indira, 16:2006)

Pramoedya Ananta Toer
Sumber Gambar: Yayasan Lontar, “Mendengar si Bisu Bernyanyi,” Seri Video Dokumenter
Berselang dua tahun lebih muda dari umur D.N. Aidit adalah Pramoedya Ananta Toer, seorang tokoh sastrawan yang terkenal di Indonesia dan dunia internasional yang kisah hidupnya cukup menginspirasi, yang akan penulis ulas dalam kesempatan ini.n Pramoedya lahir pada 6 Februari 1925 di Blora, sebuah Kota kecil di bagian utara Jawa Tengah, Pramoedya Ananta Toer semenjak masa kecilnya sampai menjelang masa tuanya selalu hidup dalam tekanan. Namun, justru karena tekanan-tekanan dari hidupnya itu Pramoedya Ananta Toer, melalui novel-novel yang ditulisnya, menjadi seorang sastrawan yang dikenal luas dan dikagumi banyak orang. Bagaimana kisah perjalanan hidupnya, berikut ini pembaca akan penulis ajak mengikuti kisah perjalanan hidup Pramoedya Ananta Toer.
Rasa Rendah Diri Yang Berasal dari Dalam Keluarga
Pramoedya Ananta Toer (selanjutnya disebut Pram) dilahirkan pada usia kandungan Ibunya, Saidah, baru berusia 8 (delapan) bulan. Jadi, pada saat itu, Pram lahir secara prematur. Kondisi kelahiran Pram secara prematur inilah yang menyebabkan Pram menjadi seorang anak yang lemah. Tidak hanya lemah secara fisik, dalam pandangan Ayahnya, Mastoer Imam Badjoeri (selanjutnya disebut Mastoer), Pram dianggap anak yang lemah secara intelektual. Anggapan dari Ayahnya ini di dukung oleh kenyataan bahwa Pram ketika sedang menempuh pendidikannya di Sekolah Tingkat Dasar Budi Utomo, dimana di sekolahan tersebut Ayahnya perposisi sebagai Kepala Sekolah, Pram sempat tidak naik kelas sebanyak tiga kali berturut-turut.
Mastoer selain berposisi sebagai seorang kepala sekolah di Sekolah Dasar Budi Utomo, dia juga sebenarnya merupakan pendiri Sekolah Dasar Budi Utomo di Blora. Mastoer sebelum menjadi kepala sekolah dan tenaga pengajar di Sekolah Dasar Budi Utomo, dia pernah menjadi tenaga pengajar (guru) di Holands Indische School Rembang, dan baru setelah menikah dengan Saidah, dia menjadi kepala sekolah dan guru di Sekolah Dasar Budi Utomo, Blora.
Mastoer yang menginginkan anak-anaknya selalu menjadi seorang bintang kelas, mendapatkan kenyataan Pram tidak naik kelas sampai tiga kali sangat marah besar (kemarahannya ini, mungkin, juga karena dipicu gengsi Mastoer sebagai seorang Kepala Sekolah, guru, dan sekaligus Pendiri Budi Utomo). Karena ketidak naikan kelas Pram sebanyak tiga kali tersebutlah, kemudian Pram dikeluarkan (drop out) dari sekolahnya. Selama satu tahun Pram harus tinggal di rumah, tidak bersekolah di Budi Utomo, dan selama setahun itulah Pram dididik sendiri secara privat oleh Ayahnya sendiri. Dalam memberikan pelajaran kepada Pram Ayahnya selalu mengajari Pram dengan cara menunjukkan hal-hal konkret yang kemudian dikaitkan dengan pelajaran yang diajarkan oleh Ayahnya. Ayahnya mengajari Pram tentang langit, bumi, pepohonan, binatang, pepohonan, kisah-kisah lama, kehidupan rakyat jelata, bahkan persoalan nasionalisme dan kerakusan Belanda. Sekali-kali dia diajak mendengarkan gamelan, dan Ayahnya menerangkan kepadanya di mana dan bagaimana mutu keindahan seni suara Jawa dari gemelan itu (lihat: Koh Young Hun, Prof., 4:2011) dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pelajaran yang diajarkan oleh Ayahnya kepada Pram. Ayah Pram, Mastoer, dalam mem-privat anaknya tersebut sering sekali marah-marah dan membentak-bentak Pram, dan jika hal ini telah terjadi sesi pelajaran pasti berakhir dengan tangisan Pram.
Setelah selama 1 (satu) tahun Pram di berikan pelajaran privat oleh Ayahnya, Pram pun kemudian dimasukan lagi ke Sekolah Dasar Budi Utomo yang dulu pernah ditinggalkannya. Dan akhirnya pelajaran-pelajaran yang diterima oleh Pram bisa langsung di akses oleh Pram dengan mudah. Pram pun dinyatakan lulus dari bangku sekolah tersebut. Karena Pram merasa berhak melanjutkan jenjang ke pendidikannya lebih tinggi, karena sudah lulus dari Sekolah Dasar Budi Utomo yang dia tempuhnya selama 10 (sepuluh tahun) yang seharusnya, secara normal, harus ditempuhnya selama 7 (tujuh) tahun itu, maka Pram pun memohon kepada Ayahnya agar Pram dapat melanjutkan jenjang pendidikannya tersebut, seperti halnya anak-anak lain yang telah lulus dari Sekolah Dasar  yang kemudian melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Namun apa respon dari Ayahnya mendengarkan permintaan dari anak sulungnya tersebut? Pram langsung mendapatkan semprotan (bentakan) dari Ayahnya, “Anak Bodoh!! Kembali kamu ke Sekolah Dasar!”
Dengan rasa rendah diri, karena dianggap anak bodoh oleh Ayahnya, Pram pun kembali ke Sekolah Dasar Budi Utomo, sekolahan yang telah dia tamatkan selama 10 (sepuluh) tahun dan dia pun sudah dinyatakan lulus. Pada saat Pram tiba disekolahan, Pram, secara khusus, dihampiri oleh gurunya, Meneer Amir. Meneer Amir berkata kepada Pram, “Pram, mengapa kamu masih di sini? Bukankah engkau sudah lulus?! Tempatmu bukan di sini lagi, Pram.” Demi mendengar apa yang dikatakan oleh Meneer Amir, “bekas” gurunya, tersebut Pram pun tidak bicara apa-apa. Pram langsung mengambil semua kertas-kertas miliknya pada saat itu, dan kemudian berlari pulang sambil berlinang air mata. Jalan setapak ke arah rumah Pram melewati sebuah kuburan umum, dan dikuburan inilah, sebelum Pram pulang ke rumah, Pram singgah di kuburan, meletakkan kertas-kertasnya di atas sebuah batu nisan salah satu kuburan, kemudian Pram mencengkram sebuah batang pohon jarak yang ada didekatnya, dan Pram pun menjerit sejadi-jadinya. Pram pada saat itu merasa sendirian dalam rasa sesak yang menekan ulu hatinya, terpukul dan merasa dipermalukan. Pram pun merasa pada saat itu tidak ada satu pun tangan yang diulurkan kepadanya untuk sekedar menghibur atau menolong dirinya.
Bergaul dengan Anak-Anak Buruh Tani dan Dimulainya Tindakan Kreatif  (Menulis)
Rasa rendah diri yang disebabkan oleh sikap dan prilaku Ayahnya tersebut berakibat Pram tidak berani bergaul (minder atau merasa inferior/rendah diri) dengan anak-anak yang status sosialnya lebih tinggi dari keluarganya, atau paling tidak sejajar. Karena tidak percaya diri bergaul dengan anak-anak dari golongon tersebut, maka Pram bergaul dengan anak-anak dari orang tuanya yang berstatus sebagai buruh tani. Ketika Pram bergaul dengan anak-anak buruh tani Pram merasa nyaman dan sejajar dengan mereka.
Selain minder dalam bergaul, lebih jauh lagi Pram, pada saat itu, juga minder apabila harus mengungkapkan pendapatkan kepada orang-orang dilingkungan sekitarnya apabila ada sesuatu yang seharusnya ditanggapi secara argumentatif oleh Pram. Keminderan Pram untuk mengungkapkan pendapatnya, perasaannya, dan curahan isi hatinya tersebut, kemudian menyeret Pram untuk menulis. Pram menuliskan apa saja pendapatnya pada suatu peritiwa dan Pram juga menuliskan apa-apa saja yang dipikirkannya dan dirasakannya. Inilah tidakan kreatif Pram dalam mengalihkan (sublimasi/katarsis) rasa mindernya, tindakan kreatif yang sesungguhnya merupakan embrio dari lahirnya yang membawa seorang Pram sebagai sastrawan yang berhasil dan terkenal di dalam maupun di luar negeri. Jadi, semenjak usia Sekolah Dasar Pram sudah menjadi seorang penulis.
Selamat Jalan Ibunda, Saidah
Atas perintah Ayahnya, Mastoer, kembalilah Pram ke Sekolah Dasar Budi Utomo dan menyelesaikan pendidikannya di lembaga pendidikan yang didirikan oleh Ayahnya sendiri itu. Namun ada sepenggal kisah yang menyedihkan sepanjang Pram menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Dasar tersebut, dan beberapa waktu setelah Pram menyelesaikan pendidikannya tersebut. Namun sebelum tiba pada kisah yang menyedihkan tersebut ada baiknya untuk mengulas aktivitas Mastoer selain sebagai Kepala Sekolah di Sekolah Dasar Budi Utomo, sebagai berikut.
Selain sebagai Kepala Sekolah dan tenaga pengajar, sebenarnya Mastoer adalah seorang tokoh pergerakan yang bernaung di bawah organisasi PNI (Partai Nasional Indonesia). Ideologi yang dianut oleh seorang Mastoer adalah Nasionalis Kiri yang tidak berkopromi terhadap penjajahan, baik penjajahan Belanda maupun Jepang. Karena ketidakkopromiannya terhadap penjajah inilah kemudian hal itu berdampak kepada kondisi keuangan Mastoer yang memburuk. Selain itu PNI, pada penjajahan Belanda, adalah sebuah Partai yang selalu mendapatkan tekanan dari Belanda. Berangkat dari dua keadaan tersebut Mastoer seriang kali tertekan. Ketertekanan inilah yang menurut Pram seringkali dilampiaskan oleh Mastoer kepada keluarganya dengan cara marah-marah tanpa sebab musabab dan, selain itu juga, dengan cara menenggelamkan diri pada judi. Sering terjadi pertengkaran hebat antara Mastoer dengan Saidah, jika hal ini terjadi Pram selalu membela dan memihak Ibunya. Saidah, Ibunda Pram, adalah sosok perempuan yang sangat dihormati dan disegani oleh Pram.
Untuk mencukupi kebutuhan keuangan keluarga, Saidah pun harus berjualan makanan dan beras. Saidah selalu mengajarkan kepada anak-anaknya, terutama kepada Pram, sebagai berikut, “jadilah manusia bebas, dan jadilah majikan bagi dirimu sendiri tetapi jangan melanggar hak orang lain. Jangan sekali-kali meminta-minta kepada orang lain!” Apa yang diajarkan oleh Ibu-nya tersebut selalu dicamkan oleh Pram dan, menurut Pram, selalu terpancar dalam novel-novel yang ditulisnya.
Setelah lulus dari Sekolah Dasar Budi Utomo—kelulusan untuk ke dua kalinya—dari hasil usaha mengumpulkan uang bersama Ibundanya, Pram pun pada 1940 melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi, yakni di Radio Vakschool, Surabaya. Pada masa-masa Pram bersekolah di Sekolah Dasar, sebenarnya dia senang mempelajari tentang ilmu kelistrikan, oleh karena itulah, mengapa Pram memilih untuk melanjutkan bersekolah di Radio Vakschool.
Pada tahun 1941, akhirnya Pram menamatkan (lulus) dari lembaga pendidikan tersebut. Namun, Pram tidak menerima ijazah, karena ijazah yang akan diterima oleh Pram harus dikirimkan ke Bandung untuk di sahkan, tetapi kemudian tidak dikembalikan. Pada saat itu Jepang telah mengalahkan Belanda dan mulai datang ke Indonesia untuk mengusir Belanda. Untuk menghindari agar Pram tidak direkrut menjadi tenaga kerja Jepang sebagai militer kolonial, Pram pun kembali ke kampung halamannya, Blora, padahal pada saat itu Pram sudah terdaftar untuk ditempatkan pada Angkatan Udara Kolonial Jepang sebagai calon radio telegrafis. Di Blora, Pram kembali lagi membantu Ibundanya berjualan.
Pada suatu hari, Saidah jatuh sakit. Sakit yang diderita oleh Saidah pada waktu itu sangat parah. Sementara itu Mastoer tidak pernah pulang-pulang. Karena Ibundanya jatuh sakit, maka tugas untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga jatuh ke pundak Pram, sebagai anak tertua. Dia harus mengurusi Ibundanya yang sakit dan ke 8 (delapan) adik-adiknya. Untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluargannya inilah kemudian Pram harus bekerja dengan cara berjualan rokok dan tembakau. Dia harus bolak-balik sejauh 30 (tiga puluh) kilometer jauhnya dari Blora ke Cepu untuk berjualan rokok dan tembakau dengan menaiki sepeda. Pram bersepeda ke Cepu untuk mencari rokok dan tembakau untuk di jual di Blora. Selain rokok dan tembakau, Pram juga menjual kain tenun. Sesudah pulang ke rumah, Pram menjaga dan merawat ibunya yang sakit parah itu (Koh Young Hun, Prof., 8:2011).
Pada bulan Mei 1942, Ibunda Saidah yang sangat disayangi oleh Pram itu pun meninggal dunia, setelah beberapa waktu mengalami sakit yang sangat parah. Pada waktu itu umur Pram 17 tahun. Ketika Ibunnya meninggal dunia tidak ada satu pun orang yang mendekat dan menolong. Pram bersama dengan adik-adiknya harus mengurus sendiri, mengantarkan sendiri ke pemakaman, dan menguburkan sendiri jenazah ibunya tersebut. Padahal, menurut Pram, Ibunya itu banyak membantu orang, tetapi dalam keadaan seperti itu tidak ada satu orang pun yang mendekat dan membantunya. Saidah meninggal dunia pada usianya yang relatif masih muda, yakni dalam usianya yang ke 34 tahun.
Menjadi PKI (Pejuang Kemerdekaan Indonesia)
Berselang beberapa saat setelah ditinggalkan oleh Ibunya, demi untuk memberikan nafkah bagi ke 8 (delapan) adik-adiknya, Pram pun pergi ke Jakarta. Di Jakarta Pram bekerja di kantor berita milik Jepang, Domei. Sebenarnya Pram tidak ingin bekerja untuk Jepang, karena menurut Pram, bekerja dengan Jepang sama saja menjadi antek-anteknya Jepang. Namun demikian, karena Pram harus mencari nafkah untuk ke 8 (delapan) adiknya tersebut, Pram pun, dengan terpaksa, harus menerima pekerjaan dari Jepang tersebut. Setiap kali Pram mendapatkan gaji dari hasil kerjanya tersebut, setiap kali pula Pram selalu mengirimkan uang untuk adik-adiknya di Blora.
Tidak hanya bekerja, di Jakarta pun Pram juga memasuki lembaga pendidikan demi untuk memperkaya dirinya dengan ilmu pengetahuan. Pada saat itu Pram mendaftarkan diri menjadi  pelajar di lembaga pendidikan Taman Siswa. Di Taman Siswa inilah Pram mempelajari bahasa Indonesia. Bagi Pram, pelajaran bahasa Indonesia tidak hanya sebagai suatu pelajaran akan tetapi lebih dari itu. Pendidikan bahasa Indonesia adalah sebagai sebuah usaha untuk menumbuhkan semangat nasionalisme kepada peserta didiknya. Pram bersekolah di Taman Siswa pada siang harinya, sedangkan pada sore hari dan malam harinya bekerja di Kantor Berita milik Jepang, Domei.
Pram ketika naik ke kelas 3 (tiga) oleh Jepang lembaga pendidikan Taman Siswa itu dibubarkan. Namun, walau pun Taman Siswa dibubarkan, bagi Pram belajar tidak hanya disebuah lembaga pendidikan formal, tetapi belajar bisa juga dilakukan secara otodidak. Belajar secara otodidaklah yang dilakukan oleh Pram untuk menimba ilmu sastra sebanyak-banyaknya, perhatian Pram pada waktu itu terfokus pada tumpukan buku-buku kesusastraan yang dibeli atau disewanya pada sebuah tempat penyewaan buku.
Atas kebijakan dari Jepang, pada tahun 1944, Pram terpilih sebagai salah satu pekerja Jepang, Domei, untuk melanjutkan pelajarannya di Taman Siswa yang sempat terinterupsi tersebut. Namun, Pram tidak melanjutkannya ke Taman Siswa akan tetapi ke sebuah sekolahan yang dikelola oleh Jepang, Stenografi Tjou Sangiin. Pada saat Pram menempuh pendidikannya di Stenografi Tjou Sangiin, pada saat inilah, Pram berkenalan dengan berbagai macam tokoh-tokoh politik. Akhirnya Pram pun lulus dari sekolah Stenografi Tjou Sangiin, Pram lulus pada bulan Mei 1945. Tidak puas atas ilmu yang telah diperolehnya dari Stenografi Tjou Sangiin Pram pun melanjutkan pendidikannya di Sekolah Tinggi Islam, Dondangdia. Di Sekolah Tinggi Islam inilah Pram belajar Filsafat, Sosiologi, dan Psikologi. Sementara itu Pram masih terus bekerja untuk Jepang di Domei.
Setelah Pram merasa ilmunya cukup untuk memandirikan dirinya tanpa harus bekerja untuk Jepang, maka Pram pun keluar dari pekerjaannya di Domei dan kemudian berkelana mencari penghidupan di Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagai seorang penulis lepas. Dan pada saat inilah Pram mulai memproduksi tulisan-tulisannya untuk dipublikasikan diberbagai media massa cetak pada waktu itu.
Pada saat Pram berada di Kediri, dia mendengar berita dari seorang bekas tentara PETA (Pembela Tanah Air) bahwa kemerdekaan Indonesia telah diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta. Ketika mendapatkan berita itu, Pram pun bergegas pergi ke Surabaya, singgah sebentar di kampung halamannya Blora untuk menengok adik-adiknya, kemudian Pram ke Jakarta untuk menggabungkan diri sebagai pemuda pembela tanah air untuk mempertahankan kembali Indonesia dari tangan pihak asing. Pram bergabung dalam Badan Keamanan Rakyat. Pada saat bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat inilah Pram bersama dengan teman-teman lainnya dengan gencar melakukan serangan ke tangsi-tangsi militer Jepang untuk mengusir tentara Jepang. Tidak hanya itu saja, Pram pun turut serta melakukan perang gerilya melawan Belanda yang berusaha menjajah kembali Indonesia. Karir Pram di dunia kemiliteran ini sempat mengantar Pram untuk mendapatkan pangkat Letnan Dua, yang memimpin pasukan terdiri dari 60 (enam puluh) prajurit. Seandainya karir Pram di dunia militer diteruskan pasti Pram akan menjadi pejabat elite militer tetapi Pram harus keluar dari dunia kemiliteran karena Pram menilai saat itu telah terjadi penyuapan, permusuhan, dan konflik kepentingan di dalam tubuh dinas kemiliteran.
Setelah ke luar dari dunia kemiliteran, Pram kembali ke dunia persurakkabaran. Pada bulan Januari 1947 Pram bekerja sebagai redaktur majalah Sadar. Saat bekerja sebagai redaktur inilah Pram mulai berkenalan dengan seorang H.B. Jassin seorang pekerja dari Balai Pustaka. Akhirnya Pram pun bekerja di Balai Pustaka, dan pada saat bekerja di Balai Pustaka inilah Pram meproduksi karya-karya tulisnya. Selain berkarya, Pram pada waktu itu juga intensif secara otodidak mempelajari tulisan-tulisan seorang sastrawan bernama Idrus. Dari Idrus inilah Pram banyak belajar tentang dunia kesusastraan, dan karena merasa berjasa telah mendapatkan sebentuk “ilham” dari Pram membaca tulisan-tulisan Idrus ini sampai-sampai Pram menganggap Idrus adalah guru besarnya di dalam dunia ilmu kesusantraan.
Pada suatu hari Pram bertemu dengan Idrus di Balai pustaka, dan Pram diperkenalkan oleh seorang temannya di Balai Pustaka kepada Idrus. Teman Pram itu berkata kepada Idrus, “ini loh Bung yang namanya Pramoedya Ananta Toer.” Apa respon yang diberikan oleh Idrus? Idrus dengan nada mencemooh, berseru kepada Pram, “ O.... ini tokh yang namanya Pram. Pram! Kamu tidak menulis Pram, tapi kamu berak.” Rupa-rupanya Idrus tidak menyukai tulisan-tulisan yang diproduksi Pram dan hal itu langsung disemprotkannya—dengan nada menghina—ke depan hidung Pram dengan tanpa ditutup-tutupi. Namun demikian, walau pun Idrus menghina Pram. Pram sebagai sosok manusia yang berjiwa besar, justru penghinaan dari Idrus tersebut ditanggapinya dengan rasa berterima kasih dan Pram tidak pernah dendam kepada Idrus.
Sebagai seorang sastrawan, yang merasa bertanggung jawab terhadap bangsa dan negaranya, Pram pada saat bekerja di Balai Pustaka selalu memproduksi tulisan-tulisan yang bernada provokatif dan mengandung unsur-unsur perlawanan terhadap Belanda. Dan karena tulisan-tulisannya itulah, kemudian orang-orang Belanda memburu dan menangkap Pram. Dan dijebloskanlah Pram ke dalam penjara. Ketika berada di dalam penjara Pram, lagi-lagi merasa kesepian, karena tidak ada pun satu kawannya yang sudi sekedar menjenguknya. Hanya satu orang perempuan yang sering bolak-balik menjenguk dan merawat Pram, dia pun datang menjenguk dan merawat Pram karena tugasnya sebagai salah seorang anggota Palang Merah. Nama perempuan itu adalah Arfah Iljas.
Karena merasa kesepian di dalam penjara, Pram pun sempat untuk berputus asa menjalani kehidupannya. Pram berusaha melakukan bunuh diri pada saat itu dengan cara melakukan pati raga. Pati raga adalah tindakan mistis yang dilakukan dengan cara membiarkan diri (pasrah) didera oleh rasa kecewa, ketakutan, frustasi, dan kegalauan. Pram dalam prilaku pati raganya tersebut, berkata pada Tuhan, “Tuhan ambillah nyawa-ku apabila tidak diperlukan lagi oleh hidup.” Setelah berkata seperti itu tiba-tiba—dalam imajinasi Pram—ada seekor macan yang muncul dari dalam tembok penjara, seakan dengan garangnya ingin menerkam Pram yang sudah tidak berdaya. Pram pada waktu itu sangat ketakutan, seluruh bulu kudunya berdiri dan tubuhnya bergetar hebat. Namun, ketika macan itu semakin mendekati Pram, Pram pun berusaha melawan ketakutannya itu maju ke muka dan menantang macan itu dan kemudian berkata, “ayo maju sini, kalau kau ingin membunuhku hadapilah aku, bunuhlah aku kalau bisa bisa!” Pada saat Pram telah membangkitkan keberaniannya dan berkata seperti itu, seketika itulah macan itu lenyap dari hadapan Pram. Dan ketika Pram membuka matanya, sadar dari prilaku pati raganya, Pram merasakan tubuhnya memiliki kekuatan yang sebelumnya tidak dia miliki (lihat: pengakuan Pramoedya Ananta Toer dalam seri film dokumenter Yayasan Lontar). Ketika Pram merasa mendapatkan kekuatan dari usaha bunuh dirinya tersebut, Pram kemudian memproduksi karya tulis, yang sering kali diselundupkan oleh orang Belanda yang bersimpati kepada Pram. Orang Belanda itu bernama Prof. Resink. Setelah berhasil karya-karya Pram itu diselundupkan, karya-karya Pram tersebut kemudian diterbitkan oleh berbagai majalah di Indonesia.
Seks dan Lenyapnya Rasa Rendah Diri
Akhirnya pada 18 Desember 1949, Pram dibebaskan dari penjara akibat penyerahan kedaulan dari Belanda ke Indonesia. Setelah bebas dari penjara, Pram semakin getol menulis, dan tulisan-tulisannya semakin garang menyerang segala bentuk ketidak adilan. Hingga akhirnya pada Pram mendapatkan penghargaan dari Balai Pustakan pada 1950 atas karyanya yang berjudul “perburuan” yang ditulisnya pada saat Pram masih mendekam di dalam penjara tersebut.
Pada saat di dalam penjara, Pram sebenarnya menaruh hati pada seorang perempuan yang telah menjenguk dan merawatnya. Dan cinta pun bersambut, perempuan yang bernama Arfah Iljas itu pun juga jatuh hati kepada Pram. Ketika dua hati bertemu, Pram pun memberanikan diri untuk melamar perempuan itu. Pada 1950 (tahun yang sama ketika Pram mendapatkan penghargaan dari Balai Pustaka) Pram pun menikahi Arfah Iljas.
Beberapa hari setelah pernikahannya dengan Arfah Iljas, Pram medapatkan kabar kalau Ayahnya, Mastoer, sedang sekaratul maut. Mendengar kabar buruk itu, Pram pun kemudian pulang ke Blora untuk menengok Ayanya tersebut. Pada saat sesampainya di Blora, Pram mendapatkan pemandangan yang sangat menyedihkan, keluarganya hidup dalam keadaan sakit, miskin, dan mengalami kehancuran segalanya. Pada saat inilah, sekali lagi, Pram mengambil alih tanggung jawab terhadap adik-adiknya dan terpaksa memikul beban hidup keluarga yang sangat besar.
Terbaginya beban tanggung jawab Pram kepada adik-adiknya dan keluarganya sendiri (istri dan anaknya) membuat Pram sering terlibat dalam pertengkaran dengan istrinya. Istrinya menuding Pram lebih mementingkan adik-adiknya ketimbang anak dan istrinya sendiri. Selain sering terlibat pertengkaran dengan istrinya tersebut, Pram juga sudah berkali-kali (paling tidak sudah 4 kali) diusir oleh istrinya dari rumah yang ditinggali bersama istrinya tersebut, pada waktu itu Pram menumpang di rumah istrinya.
Di dalam kekalutan Pram karena permasalahan keluarga tersebut, pada 1953, Pram pun ditawari untuk pergi ke negeri Belanda. Pada waktu itu ada pertukaran antar sastrawan Indonesia dengan Belanda dari Sticusa (Stichtung voor Culturele Samenwerking: Yayasan Kerjasama Kebudayaan Belanda-Indonesia) yang secara bertahap telah mengirimkan banyak seniman-seniman Indonesia ke sana. Tanpa basa-basi Pram pun akhirnya menerima tawaran tersebut. Ada kemungkinan besar diterimanya tawaran untuk melawat ke negeri Belanda itu dilatar belakangi oleh usaha Pram untuk menghibur dirinya sendiri ketika Pram berada dalam tekanan permasalahan keluarga tersebut.
Akhirnya, tibalah Pram di negeri Belanda. Pada waktu itu usia Pram telah menginjak umur 28 tahun. Setibanya Pram di Belanda, Pram menilai bahwa, pada waktu itu, orang-orang Belanda menganggap rendah orang Indonesia, orang Belanda selalu menganggap bahwa orang Indoneisa itu miskin dan bodoh. Dan Pram pun merasa selalu digurui oleh mereka. Kenyataan seperti inilah yang saat itu memicu perasaan minder (rendah diri) yang dibawanya sejak kecil mencuat dengan brutal ke permukaan, menyiksa Pram (lihat: Andre Vltchek dan Rossie Indira, 9:2006). Namun, ketika Pram bertemu dengan seorang perempuan dari Belanda atau noni Belanda akhirnya rasa rendah diri itu pun lenyap seketika. Bagaimana rasa rendah diri Pram bisa lenyap seketika? Begini ceritanya, Pram dengan noni Belanda itu sempat berpacaran dan dalam masa-masa pacaran itulah mereka melakukan hubungan seksual layaknya suami istri. Pram pada waktu itu merasa beruntung karena merasakan nikmat yang luar biasa dari hubungan seksual tersebut, terlebih lagi si noni pada waktu itu masih perawan. Menurut pengakuan Pram, erangan-kenikmatan dari noni Belanda yang sedang melakukan hubungan seksual dengan Pram selalu terngiang-ngiang di dalam telinga setiap saat, di setiap Pram sedang menulis atau memproduksi karya-karyanya.
Selain kenikmatan seksual yang dapat direngkuh oleh Pram dalam hubungan seksual tersebut, hal yang membuat Pram merasa sangat berterima kasih terhadap pacar Belandanya tersebut adalah lenyapnya, secara seketika, rasa rendah diri Pram yang telah dibawanya semenjak kecil. Pram pada waktu itu merasa sejajar dengan semua manusia yang ada di dunia ini. Dan Pram pun semakin memiliki semangat untuk melatih keberaniannya dalam menyikapi hidup.
Bertarung Melawan Tekanan Hidup
Pada bulan Januari 1954, Pram kembali ke Indonesia. Sekembalinya Pram ke Indonesia, kebetulan pada saat itu sedang terjadi pemotong atas anggaran pendidikan belanja pendidikan pengajaran dan kebudayaan. Kebijakan pemotongan anggaran tersebut, sudah pasti, berdampak pada terjadinya krisis dunia penerbitan dan yang kemudian hal ini juga berdampak pada terjadinya krisis keuangan terhadap Pram.
Dalam kesulitan mendapatkan rezeki karena akibat dari kebijakan pemotongan tersebut, istri Pram, Arfah Iljas, semakin menjadi-jadi memerahi Pram, memaki dan mengusir Pram. Sadar berkali-kali Pram diusir oleh istrinya tersebut, Pram pun akhirnya mengambil keputusan untuk menceraikan istrinya. Dan bercerailah Pram dengan istrinya, Arfah Iljas, seorang perempuan yang pada mulanya dianggap Pram mencintai Pram dengan tulus.
Setelah mencaraikan istrinya, beberapa bulan kemudian, Pram berusaha mencari pengganti istrinya yang diceraikan untuk menemaninya menjalani kehidupan yang terus menekannya ini. Akhirnya Pram pun bertemu dengan Maimunah Tamrin dan kemudian menikahinya pada 1955. Maimunah Thamrin adalah keponakan perempuan Husni Thamrin, seorang pahlawan nasional.
Setelah menikah dengan Maimunah Thamrin, karya-karya Pram semakin dikenal luas baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Karena begitu terkenalnya Pram, pada 1956 Pram pun di undang oleh Lembaga Sastrawan China Pusat untuk menghadiri peringatan meninggalnya pujangga Lu Sin. Ketika berada di China Pram pun belajar dan mengetahui tentang bagaimana caranya memperjuangkan ketidak adilan dan pembelaan terhadap rakyat jelata melalui tulisan. Pram belajar bagaimana mengubah teks sebagai alat perlawanan.
Tidak hanya ke China, pada tahun-tahun selanjutnya Pram pun di undang ke Turkemania dan Moskow. Setelah singgah di Siberia, Baijing dan Rangoon dia kembali lagi ke Indonesia pada 21 Oktober 1958. Seiring dengan semakin terkenalnya Pram di dunia internasional, Pram pun merasa dirinya semakin percaya diri dan rasa rendah dirinya tersebut benar-benar hancur dan musnah. Pram pun merasa menjadi seorang manusia kuat dan berani menentang segala bentuk ketidak adilan.
Pada tahun 1959 Pram melihat ada sebuah organisasi kebudayaan yang sejalan dengan misinya untuk melawan segala bentuk ketidak adilan, lembaga tersebut bernama Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Dan pada tahun itulah Pram bergabung dengan Lekra. Sebuah lembaga kebudayaan yang disebut-sebut berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia.
Pada zaman kepemimpinan Soekarno pernah terjadinya dikeluarkannya Peraturan Perundang-undangan (Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1959) yang mendiskriminasikan orang-orang Tiong Hoa untuk menjalankan bisnisnya, berdagang. Di dalam Peraturan Perundang-undangan tersebut dirumuskan bahwa orang Tiong Hoa dilarang berdagang di daerah kecamatan dan kabupaten. Melihat ketidak adilan yang telah dilakukan oleh Soekarno tersebut, Pram pun kemudian melakukan perlawanan dengan cara menulis sebuah karya berjudul “Hoa Kiau di Indonesia.” Buku dituduh berisi pembelaan terhadap pedagang-pedagang Tiong Hoa (pedagang keturunan China). Akibat dari buah karyanya tersebut, Pram pun ditanggkap dan kemudian dijebloskan ke dalam penjara selama 9 (sembilan) bulan—seumur dengan usia kandungan dalam keadaan normal. Di jebloskannya Pram di dalam penjara, bukan berarti membuat Pram surut dalam berkarya, justru di dalam pajara tersebut Pram mendapatkan inspirasi yang melimpah sebagai bahan baku Pram dalam memproduksi karya-karya tulisnya. Dipenjarakannya Pram, seakan-akan, merupakan tindakan penetrasi penis (represi kekuasaan) ke dalam vagina (daya imajinasi Pram) yang ujung-ujungnya membuahkan kandungan inspirasi yang kaya di dalam benak Pram.
Setelah Pram dibebaskan dari dalam penjara, situasi perpolitikan di Indonesia semakin runyam dan gawat. Dan hal ini lah yang kemudian menyeret meletusnya peristiwa 30 September 1965. Peristiwa tersebut dianggap oleh Soeharto PKI lah biang keladinya, atas anggapan inilah kemudian Soeharto dan militer membersihkan orang-orang PKI dan berbagai organisasi yang berafiliasi dengan PKI, termasuk Lekra dimana Pram ada di dalamnya. Dianggap sebagai simpatisan PKI, Pram pun akhirnya ditanggap oleh rezim militer Soeharto dan dijebloskan ke kamp konsentrasi, Pulau Buru.
Cerita Pram Tentang Pulau Buru dan Karya Tulisnya
Penangkapan Pram terjadi pada 13 Oktober 1965. Penangkapan ini dilakukan oleh rezim militernya Soeharto di rumah kediaman Pram. Sebelum Pram ditangkap, ada segerombolan orang yang melempari rumah Pram dengan batu-batu besar hingga pintu rumah kediaman Pram hancur. Pelemparan tersebut terjadi pada malam hari. Ketika itu Pram berusaha mengetahui siapa gerangan yang melempari rumahnya dengan batu-batu besar tersebut? Untuk mengetahuinya, ketika terjadi pelemparan, Pram lalu menyalakan lampu kemudian keluar rumah dan berteriak-teriak menantang orang-orang yang melempari rumahnya tersebut. Namun, apabila Pram menyalakan lampu dan keluar rumah, selalu saja orang-orang tersebut melarikan diri dan bersembunyi, dan ketika Pram masuk lagi ke rumahnya orang-orang itu muncul kembali dan kembali melempari rumah Pram dengan bebatuan. Pada saat itu kaki Pram sampai berdarah-darah karena terkena lemparan batu. Saking jengkelnya Pram, Pram pun mengambil samurai dari dalam rumahnya, keluar rumah dan berusaha mengejar orang-orang itu, sambil berteriak, “pengecut, bukan begini caranya berjuang! saya juga pejuang! sini pemimpin kalian! kalau berani, datang ke sini!” (Andre Vltchek dan Rossie Indira, 30:2006).
Ketika Pram berusaha untuk mengetahui siapa gerombolan yang telah melempari rumahnya dengan batu tersebut, pada saat itulah terdengar suara letusan bunyi tembakan otomatis, “dor-dor-dor!” dan gerombolan itu pun berhenti melempari rumah Pram dengan batu dan kemudian melarikan diri. Pada saat itu, muncullah para tentara mendatangi Pram yang sedang meradang-marah, dan salah satu diantara mereka berkata, “Pak, rakyat jangan dilawan.” Dan jawab Pram, “mereka itu bukan rakyat, tetapi gerombolan pengecut!” Setelah mendengar jawaban dari Pram tersebut, Pram pun ditangkap oleh para tentara itu sambil berkata, “mari Bung Pram, kami akan amankan.” Apa maksudnya diamankan? Ternyata maksud dari kata “diamankan” tersebut adalah ditanggap dan Pram baru mengetahuinya pada saat itu bahwa kata “diamankan” adalah ditangkap. Pada waktu itu Pram sempat terheran-heran juga, para gerombolan itu yang melempari rumahnya dengan batu, eh, malah Pram yang ditanggap. “Permainan macam apa ini?!” tanya Pram dalam hati.
Tidak hanya ditangkap dan kemudian ditahan, semua milik Pram, pada saat itu, dirampas oleh para tentara, termasuk apa yang dipakai (jam tangan) yang dipakai oleh Pram pada saat itu. Pram di bawa dengan truk dan di dalam truk itulah Pram diintrogasi dan disiksa oleh para tentara. Pram dipukul dengan popor senjata, ditampar dan diludahi. Tidak hanya barang-barang bergerak saja yang dirampas oleh tentara, bahkan sebuah rumah milik Pram di Jalan Rawamangun dirampas oleh para tentara dan hingga Pram menutup mata rumah itu tidak pernah dikembalikan oleh para tentara itu kepada Pram.
Istri Pram, Mutmainah Thamrin, pada saat itu sedang melahirkan di tempat lain. Ketika Mutmainah mendengar kabar dari salah seorang tetangganya bahwa Pram ditangkap oleh para tentara, segera Mutmainah pulang ke rumah. Ketika Mutmainah sudah tiba di rumah, dia menyaksikan rumahnya sudah diberantakan, dirusak dan diobrak-abrik oleh tentara. Dan pada saat itulah Mutmainah menyaksikan di sendiri para tentara itu membakar kertas-kertas (draft naskah) milik Pram, termasuk delapan naskah milik Pram yang belum terbit. Tidak itu saja, para tentara itu secara membabi buta juga membakar perpustakaan pribadi Pram. Begitu geramnya Pram terhadap aksi pembakaran naskah ini, dan Pram pun tidak bisa memaafkan apa yang dilakukan oleh para tentara tersebut. Pram pernah berkata bahwa pembakaran naskah miliknnya tersebut adalah perbuatan setan. Dan hal ini menunjukkan betapa rendahnya budaya mereka. “Tentara-tentara goblok ga punya otak, kelakuan mereka seperti anjing-bajingan,” ujar Pram dengan amarah yang memuncak ketika di wawancarai oleh Andre Vltchek dan Rossie Indira (30:2006).
Sebelum Pram ditanggkap dan dibawa oleh para tentara, sebenarnya Pram sudah diperingatkan oleh salah seorang temannya, bahwa sudah banyak simpatisan-simpatisan Partai Komunis Indonesia yang ditangkap, dan pola-pola penangkapannya sama sebagaimana yang dialami oleh Pram, yakni rumahya dilempari batu oleh segerombolan orang dan kemudian baru setelelah itu para tentara datang untuk menangkap si orang yang ada di dalam rumah tersebut. Atas apa yang disampaikan oleh salah seorang temannya tersebut, Pram pada waktu itu bersikeras untuk tidak mau meninggalkan rumahnya, dia harus mempertahankan apa yang menjadi miliknya dan Pram tidak takut dengan orang-orang yang akan melempari rumahnya dengan batu, dan Pram pun tidak takut untuk berhadapan dengan para tentara. Benar saja, setelah beberapa hari pemberitahuan dari salah seorang kawannya itu, hal itu akhirnya menimpa Pram. Pada saat Pram ditangkap tersebut sebenarnya Pram membawa serta mesin tik, naskah buku yang berjudul “gadis pantai,” dan gajinya sebagai penasihat di sebuah pabrik pensil dan juga gajinya sebagai dosen di Res Publica. Semua itu dirampas oleh tentara. Untuk gaji miliknya dirampas dan di”makan” oleh para tentara, sedangkan untuk mesin tik dan naskah yang dibawa oleh Pram tersebut dirampas kemudian di bakar oleh para tentara. Untuk naskah “gadis pantai” untung saja salinannya sudah dititipkan oleh temannya yang memberitahukan tentang kasus penangkapan tersebut, yang kemudian oleh temannya tersebut diserahkan pada salah satu penerbit yang ada pada waktu itu.
Pram pada waktu itu benar-benar dimiskinkan oleh tentara, hingga sampai-sampai dia tidak bisa menafkahi anak-anak dan istrinya. Pada saat itu penderitaan tidak hanya dialami oleh Pram, anak-anak dan isrinya pun ikut menanggung beban. Anak-anak dan istrinya sempat hidup lontang-lantung, menumpang ke sana dan ke sini. Walau pun dalam keadaan seperti itu, menurut Pram, istrinya itu selalu memberikan kesetiaannya kepada Pram, dan hal ini ditunjukkan dalam bentuk rutinnya sang istri menjenguk Pram, dan setiap kali istrinya menjenguk dia selalu membawakan makanan untuk Pram walau pun dia sendiri sulit untuk mendapatkan makanan untuk dirinya sendiri. Menurut Pram, ketika di dalam penjara, para tahanan sulit sekali untuk mendapatkan makanan. Pram pernah menyaksikan sendiri, pernah dalam satu hari ada enam orang yang dekat dengan dirinya mati karena kelaparan.
Setelah Pram ditangkap, Pram di bawa ke berbagai tempat. Pertama kali Pram di bawah ke markas CPM Guntur, terus ke markas besar Kodam V, lalu ke penjara Bukit Duri di Jakarta dan ke penjara Tangerang. Selama 4 (empat) tahun Pram dipindahkan dari satu tempat ke tempat lainnya, sampai akhirnya Pram dikirim ke kamp konsentrasi di Pulau Buru. Di pulau Buru, Pram menjalani hukuman selama bertahun-tahun.
Kamp konsentrasi Pulau Buru, pada saat itu, terlihat sebagai bangunan kamp yang dibangun dengan terbuat dari dedaunan, seluruh area dipagari dengan kawat besi berduri. Dan seluruh tahanan harus bekerja di ladang atau di sawah. Pram, pada waktu itu, diperintahkan untuk melakukan penggalian saluran air, membuat saluran irigasi, membangun jalan, dan bekerja di sawah. Ketika Pram mengerjakan itu semua, Pram selalu ditemani oleh bentakan dan caci-maki dari tentara yang mengawasi pekerjaannya tersebut. Di bawah tekanan tersebut Pram selalu berpikiran dimana Tuhan? mengapa Tuhan tidak menolong Pram? Pertanyaan-pertanyaan tersebut, kemudian, menyeret Pram untuk tidak percaya adanya keberadaan Tuhan. Bagi Pram, Pram adalah Pram. Pram adalah sosok orang yang harus memperjuangkan dirinya sendiri tanpa meminta-minta kepada siapa pun. Pram pun teringat pesan Ibunya, “jangan pernah minta-minta kepada siapa pun!” Ketika Pram diwawancarai oleh Andre Vltchek dan Rossie Indira tentang pandangannya tentang agama, Pram dengan tegas mengatakan bahwa “Saya hanya percaya pada diri saya sendiri. Dan dengan berjalannya waktu, saya tahu bahwa saya hanya bisa bergantung pada diri saya sendiri. Saya ditahan oleh Orde Baru selama 34 tahun di penjara dan kamp konsentrasi, dan Tuhan tidak pernah menolong saya. Orang-orang datang kepada Tuhan untuk mengemis. Menurut saya berdoa itu sama dengan mengemis (16:2006).
Untuk menghibur dirinya sendiri, Pram dalam menjalankan kerja paksa di Pulau Buru selalu menganggap bahwa aktifitas itu adalah bentuk kegiatan melatih otot-otot fisik agar menjadi sehat dan kuat. Otot yang tidak pernah dilatih secara keras akan menjadi otot yang tidak berguna dan sakit. Tidak hanya ketangguhan intelektual dan keberanian mental yang harus ditempat, fisik juga harus ditempa secara keras untuk mendapatkan hasil yang mencengangkan.
Penyiksaan dan penghinaan serta perbuatan-perbuatan di luar batas prikemanusiaan, menurut Pram, adalah pemandangan yang biasa yang terjadi di Pulau Buru. Bukan hanya disiksa dan dihina, orang-orang tahanan di Pulau Buru juga banyak yang dibunuh oleh para tentara penjaga. Menurut Pram, di Pulau Buru terdapat apa yang dinamakan dengan “jigo kecil,” untuk menyiksa dan membunuh. Tempat Pram, di Pulau Buru, lebih dekat ke tengah pulau, sedangkan jigo kecil itu dekat dengan pelabuhan. Pada suatu hari Pram pernah melihat seorang tahanan politik yang disuruh lari dan dikejar leh gerobak kuda. Kalau tahanan politik itu tidak mampu lari lagi, maka dia akan dilindas oleh gerobak kuda itu. Pram melihat dengan mata kepalanya sendiri. Berikut ini beberapa cerita penyiksaan yang disaksikan oleh Pram ketika mendekam di Pulau Buru.
Cerita pertama, Pram mengatakan bahwa supaya tahanan politik bisa hidup, tahanan politik harus mencari sendiri sesuatu untuk dimakannya. Salah seorang teman tahanan Pram, saat itu, beternak ayam, tetapi dia selalu saja kehilangan seekor ayam setiap hari. Teman Pram itu merasa jengkel sekali. Karena ingin tahu siapa yang mencuri ayamnya. Dia meneruh tai kerbau di dalam kandang ayam. Yang dia tidak tahu adalah bahwa yang mencuri adalah tentara penjaga. Jadi ketik mereka mecoba mecuri lagi, mereka hanya mendapatkan tai kerbau. Keesokan paginya para tahanan politik dikumpulkan semuanya, disuruh berbaris berjajar, dan ditanya kendang ayam milik siapa itu? Setelah mengetahui siapa pemilik kandang ayam itu, sang pemilik pun dikeroyok oleh para tentara tersebut, dipukuli hingga babak belur. Dan di depan para tahanan politik yang berbaris tersebut, tentara penjaga itu berkata bahwa orang yang mereka pukuli itu penipu (Andre Vltchek dan Rossie Indira, 36-37:2006).
Cerita kedua, salah seorang rekan tahanan Pram tahanan politik di Pulau Buru memelihara ikan di tebat. Dia sering sekali kehilangan ikan-ikannya, dan akhirnya dia mencoba mengintip siap yang mencuri, dan ternyata tentara yang mencuri. Sewaktu mereka tahu bahwa rekan Pram ini menintip mereka dalam menjalankan aksi pencurian ikannya, mereka menembaknya langsung di tempat. Dan sekita itu lah teman Pram itu mati (Andre Vltchek dan Rossie Indira, 37:2006).
Cerita ketiga, seorang teman Pram menyimpan sesobek kertas koran bekas bungkus. Aturan yang berlaku di Pulau Buru adalah para tahanan politik dilarang untuk membaca sama sekali, dan ketika tentanra mendapatkan bahwa teman Pram itu menyimpan sepotong korang bekas, mereka mengikat dan menggantungnya. Dua hari kemudian para tahanan politik di pulau buru itu menemukan mayatnya mengapung di sungai (Andre Vltchek dan Rossie Indira, 37:2006).
Cerita keempat, beberapa teman Pram lainnya sendang bekerja di sawah. Mereka istirahat makan siang di gubuk, dan di gubuk itu disimpan pupuk, warnanya putih. Kemudian tentara datang dan mereka melihat pupuk itu di dalam gubuk, mereka pikir itu gula. Seorang tentara mencicipi pupuk itu danlangsung disemurkan. Semua yang berada di dalam gubuk langsung disiksa tanpa ampun. Sekali lagi, tentara menuduh mereka menipu (Andre Vltchek dan Rossie Indira, 37-38:2006).
Pada saat Pram menjalani hukuman di Pulau Buru, Pram mengubah tekanan menjadi sebuah hal yang bersifat kreatif. Hal itu dilakukan oleh Pram dengan cara menulis karya. Pada awalnya Pram selalu mendapatkan siksaan fisik dari tentara penjaga dan juga selalu dilarang untuk menulis karya, tetapi karena adanya tekanan dari luar negeri (Amerika Serikat), maka Pram pun bebas dari siksaan dan akhirnya diperbolehkan untuk menulis karya. Di pulau buru lah Pram menelurkan karya-karyanya yang sangat terkenal, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Salah satu karya Pram yang sangat terkenal yang ditulisnya di Pulau Buru adalah tetralogi bumi manusia.
Setelah Pram bebas dari Kamp Konsentrasi Pulau Buru, pada tahun 1980, Pram menerbitkan bukunya yang bertitle Pulau Buru tapi dibreidel atau dilarang terbit oleh rezim Orde Baru. Demikian juga dengan buku-buku novel lainnya yang berusaha diterbitkan di Indonesia pada zaman Indonesia dipimpin oleh seorang diktator dari militer, Soeharto, selalu saja buku-buku itu dilarang terbit dan beredar. Namun, walaupun pada saat itu, buku-buku Pram dilarang terbit dan beredar, buku-buku yang ditulis oleh Pram tersebut banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di luar negeri, diterbitkan dan diedarkan secara luas di luar negeri. Dan dari sinilah, dari royalti buku-bukunya yang diterbitkan diluar negeri Pram dapat bertahan hidup dan menghidupi keluarganya. Hingga akhirnya, pada tahun 1998, ketika Soeharto terjungkal dari tahta kepresidenannya, pada saat itulah buku-buku tulisan Pram di terbitkan dan tersebar luas beredar di Indonesia.
Hembusan Nafas Terakhir, Pram
Pada 27 April 2006, Pram sempat tidak sadarkan diri. Pihak keluarga akhirnya memutuskan untuk membawa Pram ke rumah saki St. Corulos pada saat itu juga. Pram oleh dokter didiagnosis mengalami radang paru-paru, ditambah dengan komplikasi ginjal, jantung dan diabetes.
Pram hanya bertahan selama 3 (tiga) hari di rumah sakit. Walau pun kondisinya sangat buruk, pada waktu itu, Pram bersikeras untuk bisa di bawa pulang. Akhirnya karena kengototan Pram tersebut keluarga pun membawa pulang Pram pada 29 April 2006. Kondisi Pram sesampainya di rumah jauh lebih baik. Meski pun masih kritis, Pram pada waktu itu sudah bisa memiringkan badannya dan menggerak-gerakkan tangannya.
Kondisi Pram memburuk pada pukul 20.00 Wib. Pram masih dapat tersenyum dan mengepalkan tangannya ketika sastrawan, Eka Budianta, datang menjenguknya. Pram juga sempat tertawa terkekeh ketika para penggemar yang menjenguknya membisiki ke telinga Pram bahwa Soeharto masih hidup. Kondisi Pram pada sati itu membaik, kemudian memburuk, kemudian membaik lagi, kemudian memburuk, begitu terus hingga Pram mencopot infusnya dan berkata bahwa dirinya telah sembuh.
Akhirnya Pram pun menghembuskan nafas terakhirnya pada pukul 05.00 Wib. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya Pram sempat berkata (mengerang), “Akhiri saja saya. Bakar saya.” Pramoedya Ananta Toer yang sepanjang hidupnya penuh dengan tekanan akhirnya wafat pada usianya yang ke 81 (delapan puluh satu) tahun. 
DAFTAR PUSTAKA
Andre Vltchek dan Rossie Indira, Saya Terbakar Amarah Sendirian!—Pramoedya Ananta Toer dalam Perbincangan dengan Andre Viltchek dan Rossie Indira, Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, Cetakan Kedua, 2006.
Yayasan Lontar, Mendengar si Bisu Bernyanyi, Seri Video Dokumenter, Tanpa Tahun.
Koh Young Hun, Prof., Pramoedya Menggugat: Melacak Jejak Indonesia, Penerbit Kompas Gramedia, Jakarta, Cetakan Pertama, 2011.

0 comments: